Seperti biasa sehabis pembelajaran selesai, Gibran akan langsung menuju lapangan basket untuk mengeksplor kemampuannya. Walau bukan jadwal ekskulnya hari ini.
Sudah dua hari teman sebangkunya tidak masuk karena sakit. Tapi sampai siang itu belum ada kabar lagi dari Giandra mengenai kondisinya terkini. Bagusnya lagi, Giandra tidak masuk disaat absensi kelas belum berjalan.
Usai menggiring bola dari kejauhan, Gibran menekuk sedikit lutut dan siap melompat. Sesuai dengan ekspektasi, bola tersebut masuk ke dalam ring dengan mulus. Tapi pendaratan yang tidak tepat membuat kakinya tergelincir dan akhirnya jatuh.
"a-aduhhh." desisnya sambil memegangi bokong.
Setidaknya keadaan lapangan benar-benar sepi, jadi tidak ada yang melihat insiden memalukan tersebut.
Gibran memandangi alas sepatunya yang licin, wajar saja kalau ia terpeleset tadi. Tapi disaat ia masih dalam posisi seperti itu, seorang perempuan tiba-tiba saja ikut berjongkok didekatnya.
Irenia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga supaya orang lain dapat melihat wajahnya dengan jelas. Ditatapnya Gibran dengan sorot sedikit lucu.
"jatoh?" tanya Irenia.
Cowok itu langsung mengalihkan pandangan sambil tertawa, "gue kira gak ada yang liat." timpalnya. "lo dimana tadi?"
"kebetulan lewat pas banget kamu loncat, terus kepeleset. Jadi ya udah aku kesini," bohongnya. Iya bohong. Karena cewek itu bukan tidak sengaja lewat, ia memang membuntuti Gibran tanpa seorang pun mengetahui.
Gibran hanya menganggukkan kepala sebagai respon berikutnya.
Kemudian Irenia berdiri lebih dulu, lalu mengulurkan tangan untuk membantu Gibran meski jelas-jelas cowok itu dalam keadaan super baik. Namun karena sudah kepalang tanggung, diterimanya uluran tangan tersebut.
"Giandra sakit apa ya, Gib?" gumam Irenia ketika mereka berjalan keluar lapangan.
Gibran yang tepat disebelahnya langsung menoleh dengan senyum jahil, "asikkk. Kangen ya? Baru dua hari gak ketemu," balasnya.
Tak ada jawaban lagi dari cewek itu. Ia hanya mendelik sekilas lalu terdiam, seolah menikmati setiap langkah yang sedang dilaluinya.
Diwaktu yang sama, ponsel dalam saku celana Gibran bergetar. Ia langsung mengeluarkan benda tersebut untuk melihat pesan yang baru saja masuk. Matanya langsung membulat dan tanpa membuang waktu lagi cowok itu bergegas.
"Ren, lo balik sekarang gak?" tanya Gibran.
Irenia langsung berhenti melangkah, ia menoleh disertai anggukan kecil. "ini mau pulang." jawabnya.
"gue mau ke rumah sakit, si Gian dirawat."
"hah? Kok bisa? Emang sakit apa?"
"gak tau, makanya gue mau kesana sekarang. Lo pulang sendiri gak apa-apa?" tanya Gibran untuk memastikan.
Sejenak Irenia berpikir, lalu ia kembali menatap lawan bicaranya. "aku ikut!"
Berakhirlah mereka disini, di detik empat puluh lima dengan lampu berwarna merah. Gibran melirik lewat spion motor, beberapa pengendara yang berbaris sejajar dengannya melihat kearah Irenia. Karena apa? Karena rok cewek itu jadi makin tinggi terangkatnya.
Gibran yang sudah nahan-nahan hanya bisa mencengkram stang motor sambil menahan umpatan dibalik helm fullface-nya.
Begitu lampu berubah hijau, ia langsung tancap gas. Segera pergi agar cewek yang duduk dibelakangnya terhindar dari pandangan orang-orang yang yah—seperti itulah kira-kira.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An Intelligence
FanfictionPernah mendengar kutipan "a man isn't complete until he has seen the baby he has made." nya Sammy David Jr? Kira-kira seperti itulah yang dirasakan oleh Jeff sebagai suami dan calon papa untuk anaknya. Ia harus membagi waktu antara tugas dan menema...