-Paz-

2.4K 378 74
                                    

Tepat esok harinya, ketika matahari sedang berada dipuncak tertinggi langit, Giandra melompat turun dari jeep putihnya yang sengaja diparkir di loby sebuah pusat perbelanjaan. Ia memasuki pintu utama sambil sesekali melihat antara jalan dan layar ponsel.

Langkahnya terhenti tepat didepan sebuah kafe seraya ia menekan tombol bergambar telepon pada ponsel dan segera mendekatkan benda tipis itu ke telinga. Namun yang menyambut pendengarannya adalah suara operator, yang menyatakan bahwa pemilik nomor yang dituju sedang dalam panggilan lain.

Kembali ia mengetikkan sesuatu, mengirimkan pertanyaan singkat untuk satu-satunya orang yang mengajaknya bertemu di tempat ini.

Masuk aja, aku udah reservasi sebelumnya
Bilang aja atas nama Iren


Sederet kalimat bernada perintah itu membuat Giandra langsung beringsut dari tempatnya. Ia juga tidak ingin berdiri lama-lama didepan sana seperti orang linglung.

Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Irenia pada pesan singkat itu, Giandra menanyakan pesanan meja atas nama yang bersangkutan pada pelayan disana. Mereka langsung mengantarkannya pada tempat yang sudah disediakan.

Disisi lain, di waktu yang bersamaan. Seorang lelaki bertubuh tinggi besar berjalan mengelilingi mal untuk mendapati tempat yang dituju. Siapa lagi kalau bukan Gibran.

"gue udah sampe, lo dimana?" tanyanya ketika sambungan telepon tersebut diangkat.

"tempat yang aku bilang. Masuk aja, udah reservasi juga kok atas nama Iren." jawab seseorang diseberang sana.

Tanpa membuang waktu lagi, Gibran segera menuju lokasi. Begitu sampai, ia langsung menanyakan meja yang sudah dipesan oleh Irenia. Pelayan pun melakukan hal yang sama dengan yang sebelumnya ketika mengantar Giandra ke tempat tersebut.

Dua cowok yang pertemuannya berdasarkan unsur kesengajaan itu saling bertukar pandang setelah mendapati satu sama lain ada ditempat yang sama. Gibran belum duduk, ia masih menatap Giandra dengan kening berkerut. Sementara yang satunya lagi balas menatap dengan sorot keheranan.

"lo ngapain disini?" tanya Gibran duluan.

"lo sendiri?" tanya yang satunya balik.

Sejenak otak mereka berputar, keduanya langsung melengos dan membuka ponsel masing-masing untuk melayangkan ribuan pertanyaan lewat chat kepada oknum yang terkait.

Tidak ada yang bicara, Gibran hanya duduk dikursi yang berhadapan dengan Giandra setelah membaca balasan singkat dari Irenia. Setelah itu ia menghela nafas panjang.

Smg cepet akrab lagi.
Take ur time guys!


Kalimat yang sama datang pada chatroom milik Giandra. Ia langsung menekan tombol off dan mengantongi benda tersebut pada saku celananya.

Hanya berdua, duduk canggung tanpa bicara, dan sama-sama menatap lurus pada meja didepannya. Tak menyangka bisa seperti ini padahal dulu keduanya dekat sekali.

Meski terjebak dalam situasi konyol, tak satupun dari mereka berkeinginan untuk pergi. Giandra menyadari ada maksud tersendiri dari Irenia yang sengaja melakukan ini, begitu pun dengan Gibran.

Masing-masing ingin bicara meski gengsi dan memilih adu ego paling tahan lama. Tapi mereka juga sangat mengerti bahwa permasalahan ini harus segera diselesaikan.

Tak lama dua cangkir moccachino diantarkan oleh salah satu waiters. Lagi-lagi Irenia yang memesan, karena dua cowok itu tak tau apa-apa.

"percaya atau enggak, lo sama gue itu sama-sama bego. Jebakan klasik aja kena." Gibran membuka suara lebih dulu diiringi kekehan samar.

Lalu Giandra menyambutnya dengan hal yang sama, "udah terlanjur juga lah. Diem-dieman terus gak etis. Nanti orang nyangka kita pasangan sejenis yang lagi berantem,"

✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An IntelligenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang