45

7.7K 721 41
                                    

Indra melepas kacamata yang dikenakannya sejak satu jam yang lalu, saat dirinya duduk dan fokus didepan komputer. Apa yang membuat dahinya mengernyit adalah suara isakan tertahan yang berasal dari sofa disudut ruangan.

Kinan menangis tanpa ia tau penyebabnya. Tiba-tiba banget.

Hari ini cowok itu sedang bebas siaran, jadi bisa datang ke kafe. Selang setengah jam kemudian, Kinan juga datang masih mengenakan seragam dinasnya. Seperti orang linglung. Begitu tiba ia langsung naik ke lantai dua, kemudian tak beberapa lama turun dan langsung masuk ke ruang staff.

Indra sudah paham ada yang tidak beres sebenarnya. Karena gelagat sahabatnya itu berbeda hari ini. Aneh.

Terpaksa kesibukannya itu ia tunda sebentar. Dihampirinya Kinan dan duduk tepat disebelah cewek itu. Indra mengusap bahu Kinan dan langsung merengkuhnya dalam pelukan.

Ia biarkan waktu seperti itu cukup lama. Setidaknya ia masih bersedia untuk menjadi tempat bersandar bagi para sahabat. Bukan terpaksa, tapi karena memang sudah menjadi tanggungjawabnya juga.

Setelah dirasa air mata itu cukup reda dan tangisnya mulai berhenti, Indra memberikan satu kotak tisu dari atas meja ke pangkuan Kinan.

Kinan sempat terkekeh pelan walau sambil menyeka sisa air matanya. Indra ngasih tisu gak kira-kira sih.

"bentar, bu." ucapnya.

Selang lima menit Indra kembali membawakan secangkir teh hangat untuk Kinan. Ia duduk seperti semula.

"lo kenapa, Kin? Ada masalah di kantor?" tanyanya kemudian.

Kinan menggeleng.

"terus, di rumah?"

Pertanyaan kedua tak ada jawaban, itu berarti apa yang dikatakan oleh Indra adalah benar.

"ada apa?" ulangnya. Ia tau sahabatnya itu butuh mencurahkan isi hati.

Karena Indra sudah bertanya, maka tak ada lagi alasan Kinan untuk menyimpan sendiri semua itu. Meski dalam konteks ini Indra bukan siapa-siapa dan tidak ikut andil apa-apa. Tapi setidaknya, beban dalam diri Kinan sedikit berkurang.

Selama bercerita itu ekspresi Indra berbeda-beda. Sesekali matanya membulat ketika Kinan mengatakan bagian-bagian tertentu.

"jadi pelanggan yang semalem itu Attala?" tanyanya kaget.

Kinan mengangguk muram.

"terus pake ngasihin bajunya ke elo, dan suami lo liat? Bagusss."

Indra berdecak. Ia hanya tidak menyangka bahwa Attala masih suka mampir dalam kehidupan sahabat dekatnya itu.

"ya udah sekarang gini, lo balikin barangnya dia. Terus selesain. Biar gak ada salah paham lagi,"

"selesain gimana maksud lo? Gue sama Attala emang gak ada apa-apa, jadi gak ada juga yang perlu diselesain." balas Kinan tak mau kalah.

"ya seenggaknya kan lo bisa mutusin disitu, mau ketemu lagi atau udah, itu yang terakhir."

Kinan terdiam, ia bingung harus menjawab apa. Posisinya disini sangat tidak menguntungkan.

"lagian suami lo juga agak posesif ya? Harusnya dia gak marah kan, secara lo sama Attala cuma ngobrol doang. Kecuali ngapa-ngapain, pelukan, cium pipi atau cium apa. Baru tuh boleh marah, setuju gue."

Penuturan Indra barusan membuat Kinan serta merta membulatkan matanya. Ia langsung menunduk, menatap gelas teh hangat yang ia genggam dalam pangkuannya. Terlalu menohok.

Indra yang menangkap ekspresi itu langsung mengerutkan kening. "Kin, omongan gue barusan gak bener kan?" tanyanya dengan suara merendah. Takut.

Air mata Kinan kembali menetes dan langsung ia bungkam isakan yang keluar dari mulutnya dengan jari.

✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An IntelligenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang