"Gi, kamu sama Gibran—"
Pertanyaan Irenia terpotong karena Gibran, oknum yang sedang dibicarakan itu datang dari arah pintu. Seperti hari-hari sebelumnya, tak ada senyum lagi yang terlihat.
Dugaan Irenia semakin diperkuat ketika Giandra tiba-tiba saja menarik pergelangan tangannya agar segera beranjak dan pergi ke tempat lain. Meninggalkan Gibran yang masih berdiri diam ketika dua orang itu berjalan melewatinya.
Sepeninggalan mereka, Gibran melempar tas ke atas meja lalu menghempaskan diri pada kursi miliknya. Dengan sekuat tenaga ia menahan diri agar tidak meninju meja kayu didepannya ini. Setelah ucapan Giandra waktu itu yang sekarang pun belum juga lenyap dari ingatannya, membuat Gibran jadi semakin kesal tiap kali melihat dua orang itu bersamaan.
Tapi satu hal yang membuatnya bertambah frustasi adalah kenyataan dimana ia sudah berjanji bahwa persahabatan diatas segalanya. Bukan berjanji bersama Giandra, tetapi berjanji pada dirinya sendiri. Dan janji itu takkan pernah bisa ia langgar atau nanti hatinya yang akan terluka lebih parah.
Jika ada yang penasaran selama berhari-hari bahkan menginjak berminggu-minggu itu mereka yang duduk sebangku melakukan apa saja, jawabannya akan langsung terpampang. Giandra dan Gibran tidak pernah saling bicara lagi. Yang satu merasa masih kesal, dan yang satu lagi merasa paling bodoh dan tak tau harus berbuat apa.
Tak ada momen belajar bersama seperti dulu, padahal justru di waktu-waktu seperti ini yang penting. Mereka akan ujian kelulusan sekitar tiga bulan lagi. Cepat dan tak terasa. Kayaknya hampir satu tahun belakangan itu penuh dengan permusuhan.
Sementara Gibran di kelas, Giandra membawa Irenia ke perpustakaan sekolah yang letaknya berseberangan dengan gedung kelas mereka. Teruntuk Giandra, perpustakaan yang sudah dibuka pukul setengah tujuh itu menjadi satu-satunya tempat yang menyenangkan untuk disinggahi pagi ini.
"Gi, kenapa pergi?" tanya Irenia, entah sudah yang ke berapa kalinya karena belum juga mendapat respon dari cowok didepannya itu.
Denting sebuah lonceng berbunyi setiap kali pintu dibuka. Lalu penjaga perpustakaan itu —pak Darman, dengan senang hati akan langsung menyapa siapa yang datang.
Lain halnya dengan pagi ini. Baru saja akan membuka mulut, pandangannya langsung tertuju pada tangan si tamu yang masih bergandengan. "loh-loh mas Gian kalo mau pacaran jangan disini toh, disini buat belajar." cegahnya langsung.
Dari sebelahnya Irenia dapat melihat ekspresi Giandra yang sejak tadi datar berubah dingin. Sorot matanya yang setajam mata pisau itu memandang lurus pada pak Darman, otomatis membuat pria paruh baya itu bergidik ngeri.
"ya sana-sana masuk," tambahnya dengan gerakan tangan menggiring mereka masuk, ia sempat melirik Irenia sebelumnya. "jangan macem-macem loh!" ucapnya tanpa suara.
Irenia yang paham gerakan mulut itu mengangguk cepat sambil terus berjalan karena Giandra masih menarik tangannya.
Sampai pada salah satu sekat rak buku, Giandra memintanya duduk. Sementara cowok itu keliling sendirian sambil membaca satu persatu judul buku. Yang cocok akan langsung diambilnya.
Dalam sepuluh menit Giandra kembali. Tiga buku besar ditangannya berpindah ke atas meja. Membuat mata Irenia membulat sempurna setelah membaca tulisan besar yang ada pada halaman depannya. Semua buku itu mengandung rumus fisika dan kimia yang baginya menjijikan.
"Gi, ini masih pagi dan aku belum mood belajar hitungan." ujarnya datar.
Giandra menatapnya, "ikutin aja apa yang gue bilang, lo harus banyak belajar karena sebentar lagi ujian." balasnya tak kalah datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An Intelligence
FanfictionPernah mendengar kutipan "a man isn't complete until he has seen the baby he has made." nya Sammy David Jr? Kira-kira seperti itulah yang dirasakan oleh Jeff sebagai suami dan calon papa untuk anaknya. Ia harus membagi waktu antara tugas dan menema...