"kak? Kak Gib?"
Gibran terkesiap saat tangan Aqilla mengguncang bahunya pelan. Layar sepersekian inci yang sebelumnya menayangkan sebuah film terbaru, kini hanya berupa theme song dengan nama para kru penggagasnya. Cowok itu mengangkat alis kearah Aqilla, sementara kekasihnya itu balas mengerutkan kening.
Sepanjang film itu ditayangkan, Aqilla sudah menyadari betul bahwa jiwa manusia disebelahnya itu melayang entah kemana. Hanya jasadnya saja yang ada ditempat. Karena sejak tadi diajak bicara pun tidak merespon sama sekali.
Dengan penuh paksaan Gibran tersenyum tipis sambil menggenggam tangan gadis itu, tanpa banyak bicara membawanya keluar dari studio tersebut.
Setelah pengakuan perasaan Irenia yang diwakili lewat sahabatnya sendiri alias Giandra, ia tidak bisa hidup tenang sama sekali. Pikirannya yang sudah penuh dengan berbagai mata pelajaran semakin membludak saja. Ibarat kolam air yang sudah kepenuhan, luber.
Irenia menyukainya. Entah harus senang atau malah sebaliknya. Bagi seorang Gibran yang lebih memilih menyembunyikan perasaan sendiri sampai mati, mendapat umpan balik seperti ini ya bukan main bonus namanya. Tapi sayang seribu sayang, rasa senangnya itu hanya semu semata.
Bagaimana bisa —adalah satu-satunya pertanyaan yang belum terpecahkan sampai detik ini. Membuatnya hampir membenturkan kepala setiap kali tak berhasil mendapat jawaban atas keingin tahuannya itu.
"mau makan apa?" tanyanya seraya merangkul bahu Aqilla.
Sambil menghela nafas cewek itu menjauhkan tangan Gibran darinya. "pulang aja yuk?"
"kok pulang?"
"aku tau kakak lagi banyak pikiran. Pulang aja, ya?"
Tak kalah cepat lagi, Gibran menahan lengan gadisnya itu hingga ia berbalik sempurna. Sorot penuh penyesalan tergambar jelas dari kedua matanya ketika manik itu bertemu pandang.
Salahnya seperti ini. Salah egonya yang mendadak buntu dan mati rasa sampai harus mengorbankan orang lain demi menyembuhkan hatinya sendiri. Aqilla, gadis itu terlalu lugu dan polos untuk ia curangi dengan cara berbagi perasaan pada wanita lain. Dan lagi, sekarang ia kembali menjadi imbas dari ketidakdewasaan Gibran.
"aku minta maaf banget." ucapnya, "aku emang lagi banyak pikiran, maaf sayang aku gak konsen banget hari ini."
Aqilla tersenyum tipis, "iya gak apa-apa. Ya udah yuk, jangan disini."
Pasangan kekasih itu pun pergi. Dengan dua raga yang bersama, namun jiwa yang terpisah. Apalagi pikiran, entah sudah melayang kemana.
Kencan hari itu terasa begitu buruk. Niatnya sehabis nonton film, mereka akan makan malam atau keliling ke tempat lainnya. Tapi sayangnya tidak jadi karena memang Aqilla yang meminta untuk pulang saat itu juga. Kayaknya tu cewek juga paham banget kondisi cowoknya gimana.
Berakhirlah tubuh tinggi itu disini, berbaring diatas ranjangnya yang empuk dengan kedua tangan sebagai bantal. Pandangannya yang persis seperti orang habis operasi kepala alias kosong terus terarah pada langit-langit kamar yang putih bersih.
"Iren suka sama lo, tolol!"
Kalimat dan suara Giandra yang membentaknya keras itu terus terngiang di kepalanya. Layaknya enggan sekali untuk terhapus dari memori. Membuatnya hampir jadi mayat hidup selama beberapa hari ini.
"AAAHHH!"
Teriakan itu terdengar sudah yang ketiga kalinya hari ini—ralat, sore ini. Gibran yang sudah dalam posisi duduk dengan frustasi menoleh kearah pintu ketika seseorang juga meneriakinya dari luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An Intelligence
FanfictionPernah mendengar kutipan "a man isn't complete until he has seen the baby he has made." nya Sammy David Jr? Kira-kira seperti itulah yang dirasakan oleh Jeff sebagai suami dan calon papa untuk anaknya. Ia harus membagi waktu antara tugas dan menema...