-Primer Paso-

3K 439 91
                                    

Setelah beberapa hari dipenuhi dengan kebisuan, Irenia berinisiatif untuk membuat hubungan antara Giandra dan Gibran yang sempat terkendala menjadi akrab kembali. Karena bagaimanapun juga, entah mengapa dan entah mendapat asumsi darimana, ia berpikir bahwa dirinyalah yang menjadi sebab dari masalah tersebut. Meski sampai sekarang pun, Irenia tidak tau mereka saling diam karena apa.

Ditengah ruangan serba kuning itu, tiga orang duduk melingkar. Ditengah mereka sudah terdapat tumpukan kartu dengan warna dominan merah, dan semangkuk terigu yang diambil dari rak penyimpan bahan makanan.

"Gian, Gibran, ayo yang semangat dong!" seru Irenia bersemangat.

Seolah tak peduli dengan dua cowok itu yang masih diam, Irenia segera membagikan kartu kepada mereka. Karena sudah kepalang tanggung, akhirnya Giandra dan Gibran bergerak juga. Diikutinya permainan itu dengan apik. Bahkan mereka mulai terbawa suasana dan perlahan-lahan berceloteh.

Bagi yang kalah, akan menerima sebuah sanksi berupa coretan tepung diwajah. Sementara yang menang dipersilahkan bersorak ria.

"aduh!" Gibran mengeluh setelah mendapati dirinya kalah lagi.

Sedangkan Irenia dan Giandra malah tertawa. Mereka dengan antusias menorehkan tepung pada wajah Gibran, sebagaimana sebuah kanvas untuk melukis.

Satu atau dua jari masih tidak masalah. Yang parah adalah dua orang itu meraup tepung dalam genggaman dan yah—terbayang kan wajah Gibran seperti apa sekarang? Dakocan? Boleh.

"puas-puasinnn." pasrah cowok jangkung itu ketika wajahnya berubah menjadi lebih menyeramkan dari sebelumnya.

"eh kamar gue berantakan!"

"sukurrr, siapa suruh lo anarkis!"

"bersihin anjir!"

"gak. Iren tuh!"

Bukannya menengahi, Irenia malah terbahak mendengar adu mulut temannya itu. Tempat tidur Giandra yang dipenuhi dengan tepung terigu berceceran dan Gibran yang menderita karena kondisi wajahnya.

Satu-satunya cara yang tersisa untuk membuat mereka berhenti adalah dengan melakukan hal yang serupa teruntuk wajah Giandra yang bersih mulus.

Benar saja, adu mulut itu langsung berhenti. Ia menganga dan refleks memegangi pipinya yang baru saja dipeperkan tepung oleh Irenia. Tanpa kehabisan akal, dibalasnya tindakan cewek itu.

"aw! No, Gian!"

Sambil berusaha menghalangi tangan Giandra untuk mencapai wajahnya, Irenia tertawa keras. Usahanya semakin gagal setelah Gibran memilih ikut menyerang sebagai pembalasan yang lebih gila-gilaan.

Mau bagaimana pun juga, Giandra dan Gibran tetap sahabat sejak beberapa tahun lalu. Satu jahil, maka yang satunya akan bereaksi serupa.

Suasana kamar yang tadinya sepi mendadak jadi ajang pertempuran. Suara tawa dan omelan-omelan kecil bahkan memenuhi ruangan. Berantakan, tidak masalah. Yang penting target mereka kena.

Berakhir sudah peperangan tanpa senjata itu ketika mangkuk tepung yang mereka rebutkan terpental karena Gibran tak sengaja menepis dengan tenaga hulk-nya. Ketiganya langsung diam dan saling tatap, kemudian tertawa lagi karena melihat betapa buruk wajah masing-masing saat ini.

"emak gue balik terus liat kamar kayak gini, pasti gue kena tampol nih. Elo, beresin!" ucap Giandra sambil menunjuk Gibran.

Serta merta yang diperintahkan untuk membersihkan kamar menautkan alis. "Iren yang punya ide!" protesnya lagi.

"Iren cewek, nanti dia capek."

"gue juga capek, tau!" tolaknya lagi.

Giandra melemparkan sebuah bantal tidur tepat dimuka Gibran. Kemudian ia tertawa puas karena ulahnya tersebut mengakibatkan sahabatnya itu kelilipan.

✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An IntelligenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang