Seperti biasa siang itu suasana sekolah tidak begitu ramai, karena mayoritas muridnya sudah pulang ke rumah masing-masing. Terkecuali Gibran dan kedua antek-anteknya, Giandra dan juga Irenia. Mereka masih disini untuk mengerjakan tugas akhir semester dua karena minggu depan sudah masuk ujian kenaikan kelas.
Niatnya memang langsung, tapi apa daya, Gibran meminta jeda waktu karena ia harus mendampingi klub basket sekolah untuk latihan. Mau tidak mau yang lain harus rela menunggu.
Dari ratusan kursi tribun yang kosong, ada satu yang terisi. Giandra duduk disana sambil bermain game online pada ponselnya. Sampai tak menyadari bahwa Irenia sudah berdiri disebelahnya.
"Gi," disodorkannya satu kaleng minuman isotonik. Namun tak direspon sama sekali oleh Giandra.
"ini Gi." panggilnya sekali lagi.
"bentar-bentar,"
Karena gemas melihat reaksi cowok itu, Irenia dengan cepat merampas ponsel tersebut dari tangan si pemilik. Ia mundur satu langkah karena Giandra yang juga mendadak berdiri.
"Ren, aduh!" ucapnya frustasi sambil mengacak rambut. Mau marah tidak bisa karena terlalu sayang.
Irenia yang melihatnya tidak berkedip, Giandra hari ini sangat mencuri perhatian. Entah kenapa.
"aku ngomong daritadi loh, Gi. Emang penting banget ya main game sampe orang ngomong aja gak direspon?" protesnya.
"ya kan sebentar astaga.."
"kamu nyebelin banget tau gak?"
"tau." balasnya cepat, "kan lo udah bilang berkali-kali gue nyebelin. Siniin handphone gue."
Detik itu juga ada rasa tidak enak yang memenuhi dada karena Irenia sadar bahwa ia baru saja merusak suasana dengan pertanyaannya. Terlalu melewati batas hierarki. Entah Giandra yang terlalu sensitif atau memang menyinggung.
Terlihat Giandra tidak lagi meminta, hanya menghela nafas panjang. Apalagi saat Gibran datang dan langsung merangkul bahu satu-satunya cewek yang ada diantara mereka, ia langsung mengalihkan pandangan kearah lain. Kemana saja. Asal bukan ke dua orang dihadapannya.
Gibran menatap mereka bergantian, "ada apaan nih?" tanyanya heran.
Menyadari perubahan ekspresi itu, Irenia langsung menurunkan tangan Gibran. "kamu masih keringetan, Gib."
Sementara Gibran hanya terkekeh.
"udah kelar?" tanya Irenia.
"udah. Langsung yuk? Keburu sore."
Tanpa menunggu apa-apa lagi, Giandra langsung merampas ransel hitamnya yang tergeletak. Ia juga melompati sandaran kursi untuk segera keluar dari sana karena jalan yang seharusnya dilewati tertutup oleh dua orang temannya.
Gibran yang menyaksikan itu tanpa sadar jadi menganga, sementara Irenia hanya bisa membulatkan mata.
"Gi, woi! Tunggu lah!" seru Gibran, "kenapa sih tu anak?"
Tiba di kelas yang hanya ada mereka bertiga, suasana pun semakin canggung. Niat utama kerja kelompok adalah supaya bisa berdiskusi, tapi nampaknya mereka malah sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Sialnya Irenia mendapat bagian soal yang sulit dan tidak dimengerti. Sudah sepuluh menit ia berkutat dengan satu soal, namun tak juga berhasil menemukan jawaban.
"kalo diem-dieman kayak gini ngapain juga tadi nungguin Gibran. Mending kerjain aja di rumah masing-masing."
Dua cowok yang sedang sibuk menulis itu langsung menghentikkan gerakannya dan menoleh kearah yang sama. Cewek itu terlihat kesal sambil membolak-balik lembar pada buku paket.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An Intelligence
FanfictionPernah mendengar kutipan "a man isn't complete until he has seen the baby he has made." nya Sammy David Jr? Kira-kira seperti itulah yang dirasakan oleh Jeff sebagai suami dan calon papa untuk anaknya. Ia harus membagi waktu antara tugas dan menema...