-Primer Beso-

2.4K 380 96
                                    

Semakin hari semakin diliputi rasa frustasi yang mendalam. Meski sudah berusaha ia hilangkan dengan cara apapun juga, bermain basket, nongkrong di kafe, pergi keluar dengan kekasihnya atau olahraga di rumah. Semua sudah ia lakukan, namun masih belum juga berhasil membuatnya lupa akan semua fakta yang ada.

Ia membenci fakta bahwa dirinya jatuh cinta pada teman sendiri. Ia membenci fakta bahwa dirinya harus berada pada posisi yang tidak menguntungkan bagi siapapun. Dan yang paling utama, ia membenci fakta bahwa Irenia juga menyukainya.

Sejak semalam semua pesan yang masuk dari Aqilla tak dihiraukan sama sekali, bahkan ketika kekasihnya itu menelpon, pun sama tak diangkat. Karena ia sedang fokus menghabiskan waktu dengan olahraga kecil di kamar. Push up, sit up dan sebagainya.

Sampai di sekolah pun moodnya masih sangat jelek. Ia tak selalu menimpali jika diajak bicara oleh Aqilla, bahkan cenderung diam. Namun diamnya itu lebih seperti melamun dengan pikiran kosong.

Siang itu, Gibran harus menunggu Aqilla karena ada rapat sebentar dengan pengurus paskibra. Sudah hampir satu jam ia duduk di kantin, dan akhirnya Aqilla kembali. Cewek itu mengatakan rapat diundur besok, jadi anggota diperbolehkan pulang.

Sebelumnya memang sempat telibat obrolan kecil. Dari yang ingin makan dulu sampai lagi-lagi harus terhambat karena satu dan dua hal.

"kak, mau makan apa? Kamu denger gak sih, aku ngomong loh daritadi."

Gibran langsung memasukkan ponsel pada saku celananya kemudian menatap lurus pada cewek yang duduk dihadapannya. "iya denger. Ya udah pilih aja kenapa sih, kamu bawel banget." timpalnya.

"gak mood." balas Aqilla lagi sambil mendelik sinis. Tanpa ingin berlama-lama lagi ia bangkit dari kursinya dan melangkah pergi.

Gibran yang ditinggal begitu saja langsung bergerak cepat. Dikejarnya langkah sang kekasih dengan begitu mudah. "Aqilla, tunggu." panggilnya.

Diliputi perasaan kesal dan dongkol, yang dipanggil jelas tidak mau berhenti. Sudah dicuekin semalaman penuh, terus sekarang mendapat respon yang juga masih sama dari hari-hari sebelumnya. Siapa juga yang tidak kesal?

"kok gitu sih, berenti dong."

Karena Aqilla belum juga berhenti, Gibran lantas meraih tangannya sampai gadis itu memutar tubuh. Ditariknya ia ke sisi koridor yang bersebelahan dengan gudang -yang baru saja mereka lewati.

Baru saja Aqilla akan membuka mulut dan protes, Gibran sudah lebih dulu menyela.

"udah dong jangan ngambek gini-"

"ngambek? Aku gak ngambek kak, aku marah. Dari semalem kamu tuh nyuekin aku, dichat gak bales, ditelpon gak diangkat. Gak ada kabar hampir seharian. Wajar dong aku kesel? Wajar gak!?"

Cowok itu tertegun ketika Aqilla meninggikan intonasi bicaranya. Sejak pertama kali kenal dan akhirnya memiliki hubungan spesial, cewek itu tidak pernah sama sekali marah. Baru kali ini, itupun karena sikap Gibran yang acuh.

Aqilla itu gadis yang baik, dan Gibran bukan laki-laki yang pantas sebenarnya untuk disandingkan. Terlalu buruk mungkin. Tapi remaja seusia mereka belum mampu berpikir kesana bukan?

Sambil mengontrol emosinya sendiri, Gibran menghela nafas sabar. "maaf, oke? Apapun yang aku jelasin ke kamu itu cuma jadi alasan klise. Jadi aku cuma bisa bilang maaf." ucapnya.

"maaf kamu itu gak ada artinya tau kak." ujar Aqilla, ia tak ragu untuk membalas sorot mata cowok jangkung didepannya. "minta maaf aja terus, besoknya kayak gini lagi." tambahnya.

Gibran menggeleng, ia Sebenarnya sudah lelah dengan situasi seperti ini. Padahal hubungannya dengan Aqilla terbilang sangat baru, tapi sudah sering beradu argumen seperti sekarang.

✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An IntelligenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang