Ternyata beberapa jam saja tak mampu untuk mengurai rasa rindu yang sudah mereka rasakan selama empat tahun. Bagai tak ada hari esok, dua insan yang tengah berbagi kasih itu tak ingin berpisah sama sekali.
Hari sudah semakin malam saat jeep putih itu sampai didepan sebuah rumah besar yang baru dikunjunginya lagi. Dan tau apa yang terjadi setelahnya? Irenia meminta Giandra untuk bersama dengannya malam ini. Menginap. Di rumahnya.
"ayo sini." bisik Irenia tanpa melepaskan tautan tangannya dari Giandra.
Keadaan rumah yang sepi karena penghuninya sudah tertidur itu bukan berarti aman bagi Giandra. Karena lampu ruangan yang sengaja dipadamkan bisa menyala kapan saja tanpa ada yang tau. Hal itu malah membuatnya semakin panik.
Keduanya tiba pada sebuah kamar dengan nuansa merah muda. Semua aksesorisnya pun memiliki warna yang senada dengan cat dinding.
Giandra langsung menyandarkan tubuh pada pintu dibelakangnya kemudian menghela nafas panjang. "kamu mau aku mati ya?" desisnya panik.
"papaku masih berlayar. Mama juga udah tidur. Tenang aja."
Bagaimana bisa tenang kalau astaga—di kamar, berduaan? Sial, batin Giandra.
Sebisa mungkin ia mencoba untuk rileks. Oke, untuk malam ini mari doakan saja semoga tidak ada yang terjadi. Sambil mengatur detak jantungnya, Giandra memilih berkeliling. Melihat-lihat beberapa figura yang terpajang di lemari aksesoris.
"berapa lama kamu training disana, Gi?" tanya Irenia sambil merapikan tempat tidurnya.
"sekitar dua bulan?" jawabnya mengira-ngira.
"terus jadi pilot?"
Giandra menoleh kemudian terkekeh pelan, "jadi awak dulu baru bisa jadi copilot."
"masih lama dong?"
Ia mengangguk, sedetik kemudian ekspresinya langsung berubah kaku. "jangan bilang kamu udah dijodohin?" tebaknya.
Irenia lantas terbahak mendengarnya. "aku bukan gadis keraton yang cari suami aja harus dari orangtua." balasnya. "cuma tanya kok. Silahkan kamu berkarir sesuai target, aku juga masih banyak yang mau dicapai."
"dicapai? Katanya kamu nyaman kerja disana?"
"iya, tapi aku harus lanjut pendidikan lagi supaya bisa dapet gelar psikolog." tambahnya. "kamu mau ganti baju? Aku pinjemin nih."
Tanpa meminta persetujuan lagi, Irenia membuka lemari pakaiannya untuk mengambil sebuah kaos. Tak butuh waktu lama sampai ia mendapati apa yang diinginkannya itu.
Kaos berwarna abu-abu dengan ukuran lumayan besar jika dipakai oleh Irenia yang notabenenya bertubuh mungil.
Ia memberikan kaos itu pada Giandra dan memintanya untuk berganti di kamar mandi.
"Ren, kamu ngantuk ya?" tanya Giandra. Irenia menautkan alis. "kamu nyuruh aku pake kaos ini? Gak muat dong sayang." ucapnya sambil melebarkan kaos tersebut didepan wajahnya.
"muat, itu kebesaran kok."
"buat kamu kan? Kalo aku pake?"
"udah coba aja dulu, bawel banget deh." gumam Irenia sambil mendorong tubuh Giandra kearah kamar mandi.
Pada akhirnya cowok itu menuruti lagi. Ia berganti pakaian, sementara Irenia tetap diluar untuk membereskan beberapa barang yang belum sempat ia rapikan kemarin.
Satu menit kemudian Giandra kembali. Ia berdiri diam dengan wajah pasrah saat Irenia malah terbahak sekarang.
"see? Kamu mau aku kayak lepet ya?" gerutunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An Intelligence
FanfictionPernah mendengar kutipan "a man isn't complete until he has seen the baby he has made." nya Sammy David Jr? Kira-kira seperti itulah yang dirasakan oleh Jeff sebagai suami dan calon papa untuk anaknya. Ia harus membagi waktu antara tugas dan menema...