Sudah dua hari berselang setelah kejadian itu, keadaan rumah masih saja sepi. Tak ada percakapan yang keluar dari mulut masing-masing. Giandra masih butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi, pun perlu juga untuk menerima setiap nasihat dari sang papa belum lama ini. Sementara Kinan, ia jelas gengsi untuk mengajak bicara anaknya duluan. Ia ibu disini. Pemegang kekuasaan tertinggi yang harus dihormati setelah kepala keluarga.
Di sekolah pun, terlihat sekali perbedaan sikap Giandra yang dapat dibilang lebih cuek dari hari-hari sebelumnya. Menggoda guru sudah bukan lagi hobinya, ia hanya tidak ingin orangtuanya dipanggil untuk yang kesekian kali. Terlebih menggoda Irenia, mendadak ada benteng tak kasat mata yang hanya bisa dirasakan olehnya. Membuatnya perlahan membatasi diri dan berpikir untuk mulai melangkah mundur.
Gibran yang menyadari perubahan sikap itu tak ayal jadi penasaran. Tapi ketika ditanya, jawaban yang didapat selalu sama dan tak pernah berubah, "lagi kecapekan aja."
Siang itu, tim pengurus ekstrakurikuler fotografi mengadakan rapat untuk membahas tentang kegiatan promosi karena sebentar lagi ujian kenaikan kelas —pun disusul dengan pendaftaran murid baru.
Sepanjang pertemuan, tak satupun pendapat dari teman-temannya nyantol di kepala. Jangankan menyimak, kalau sedari tadi saja ia menunduk dan sibuk dengan selembar kertas yang sekarang sudah dipenuhi urekan pulpen.
"gimana, Gi? Setuju gak kalo misalkan kayak tadi? Soalnya kita juga butuh pendapat dari anggota nih,"
Pandangan Giandra sontak langsung tertuju pada orang yang baru saja bicara. Ketua ekskul fotografi, Ayunda dari kelas 12 IPS 3.
Bukannya menjawab, Giandra malah bangkit dari kursinya. Ia menyodorkan kertas hasil coretannya ke tengah meja dan dengan santai mengatakan, "gue gak nyimak, kak. Sori banget. Duluan ya." —yang jelas banget langsung mendapat sorot terheran-heran dari belasan orang lainnya.
Dengan langkahnya lebar, ditelusurinya koridor kelas. Sepi, karena kebanyakan murid sudah pulang. Tapi, satu yang dapat menghentikan langkahnya adalah siapa yang ia lihat detik itu juga.
Dari sisi luar, tepatnya pada jendela paling belakang, dilihatnya Irenia masih ada didalam kelas. Cewek itu duduk pada meja yang bukan tempatnya, melainkan di meja yang biasa Gibran duduki. Ia nampak sedang menulis dengan serius. Namun, yang membuat keningnya berkerut adalah media yang dijadikan tempat menulis bukanlah kertas, tetapi meja itu sendiri. Ditambah lagi menulis dengan spidol papan tulis.
Rasa penasaran Giandra memuncak untuk mengetahui sedang apa cewek itu disana. Tanpa ragu ia melangkah ke dalam kelas.
"lo kenapa belom balik, Ren?" tanya cowok itu, untuk yang pertama kali setelah kejadian di ruang kesehatan dua hari yang lalu.
Irenia, mendadak salah tingkah dan langsung berdiri sambil menyembunyikan spidol tersebut disisi tubuhnya.
Giandra mengerutkan kening melihat ekspresi cewek didepannya yang langsung kikuk.
"tadi abis ngerjain tugas biologi. Kamu sendiri, kenapa belum pulang?" ia balik bertanya.
Cowok itu mengangguk paham, kemudian melangkah ke mejanya yang tepat berada didepan meja Gibran. Otomatis langkahnya pun seolah-olah ingin menghampiri Irenia.
"abis rapat." jawabnya, "lagi ngapain sih?" tanya Giandra sekali lagi karena dilihatnya gelagat Irenia terlalu mencurigakan. "lo nyoret-nyoret meja?"
Cewek itu langsung menggeser tasnya yang berada diatas meja untuk menutupi sesuatu yang dimaksud saat Giandra dengan iseng mencondongkan tubuhnya untuk memastikan.
Sekali lagi ditatapnya Irenia, nampak sangat aneh.
"jangan liat! Bukan apa-apa." cegah Irenia.
Tapi Giandra masih bersikeras untuk mendapatkan tujuannya. Ia hendak menggeser tas tersebut yang langsung ditahan oleh si pemilik.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An Intelligence
FanfictionPernah mendengar kutipan "a man isn't complete until he has seen the baby he has made." nya Sammy David Jr? Kira-kira seperti itulah yang dirasakan oleh Jeff sebagai suami dan calon papa untuk anaknya. Ia harus membagi waktu antara tugas dan menema...