-Mismo Corazon Roto-

2.8K 420 96
                                    

Pagi yang mencekam datang pada hari-hari berikutnya. Dan ini, sudah yang ke-tiga kalinya Irenia melihat Gibran datang ke sekolah membonceng adik kelas mereka yang bernama Aqilla itu. Kayaknya makin hari makin nempel.

Ia memutar tubuh membelakangi arah luar, bersandar pada dinding balkon sambil memainkan jemari dengan bibir mengatup rapat. Matanya mengerjap beberapa kali sambil ia tarik nafas sedalam-dalamnya. Berusaha untuk menelan kembali rasa sesak yang selalu muncul karena alasan yang sama itu.

Dilihatnya jam yang melingkari pergelangan tangannya, baru pukul tujuh kurang dua puluh menit. Giandra, hanya ia satu-satunya yang dapat menghibur saat ini. Tapi cowok itu belum juga datang.

Ditolehkannya kembali kepala ke belakang, melihat lurus pada pemandangan yang jauh di bawah sana. Menarik, Gibran mulai berani umbar kemesraan dengan sesekali melakukan kontak fisik kepada Aqilla. Mereka tidak langsung ke kelas masing-masing, melainkan duduk diatas motor sambil berbincang dengan teman dari kelas lain yang biasa berkumpul di parkiran.

Mengusap puncak kepala, mencubit pipi, atau apapun itu. Terasa jelas tertangkap indera penglihatannya, masuk melalui mata dan menekan saraf-saraf diotaknya. Sial.

Dengan secepat kilat ia palingkan kembali wajah, kemudian segera berlari ke tempat dimana ia bisa meredam rasa kesalnya.

Pagi itu mencekam, setidaknya begitu bagi Irenia. Ditambah lagi hujan turun dengan derasnya secara tiba-tiba, membuat siapapun yang masih berkeliaran diluar segera berlindung ke tempat yang terhalang atap.

Bel masuk berbunyi, namun guru yang kebagian mengajar pagi belum kelihatan batang hidungnya. Pasti kejebak macet karena turun hujan, otomatis tak sedikit orang yang keluar mengendarai mobil.

"Gian!!"

Suara teriakan salah satu teman sekelas itu menyadarkan seluruhnya dari kesibukan mereka masing-masing. Diambang pintu, berdiri Giandra dengan rambut dan seragam yang basah. Tidak kuyup, tapi sudah pasti tidak nyaman.

"eh jangan ketawa lo!" protes cowok itu sambil tertawa.

Dengan cepat Irenia bangkit dari kursinya dan melangkah menghampiri Giandra. Ia memotong langkah cowok itu yang baru saja akan berjalan ke mejanya.

Belum sempat Giandra mengatakan apa-apa, Irenia sudah lebih dulu menarik tangannya agar segera keluar dari ruang kelas.

Sampai disisi kiri gedung lantai tiga itu, tepat diujung koridor, Irenia membawanya masuk ke ruang ganti khusus murid laki-laki. Ia tak mengindahkan satu pun panggilan atau pertanyaan dari Giandra sepanjang langkah tadi.

"Iren, sumpah! Gue ngeri elo kerasukan!" katanya dengan suara lebih keras disertai sebuah hentakan yang mampu membuat cewek itu berbalik sempurna. Tangannya yang tadi mencekal milik Giandra, kini berbalik total. Cowok itu menatapnya tajam. "lo ngapain bawa gue kesini? Ini ruang ganti cowok, Ren. Kalo ada orang yang lagi buka-bukaan terus tiba-tiba lo masuk kayak tadi gimana?!"

Irenia tertegun. Dengan sorot nanar dibalasnya tatapan Giandra.

"seragam kamu basah, Gi. Harus diganti atau nanti bisa sakit." ucap Irenia sambil menoleh kesana kemari, mencari loker dengan papan nama milik cowok itu.

Lantas Giandra mendengus dengan sebuah senyum kesal yang tertahan. "gak dengan cara elo bertingkah aneh kayak gini. Jujur sama gue, lo kenapa?" tanyanya langsung.

Ia langsung paham dengan situasi —ralat, dengan kondisi hati gadis cantik didepannya itu.

Menyusul pertanyaan yang keluar dari mulut Giandra itu, air mata Irenia turun bebas. Ia langsung menundukkan kepala karena tak ingin menunjukkan titik terlemahnya, meski orang didepannya itu sudah terlanjur tau.

✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An IntelligenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang