44

7.1K 702 69
                                    

"gimana sekarang? Jeff sehat?"

Attala menekan tombol off pada sisi kanan ponselnya lalu meletakkan benda tipis itu diatas meja. Pandangannya kembali lurus pada wanita yang duduk memeluk diri didepannya.

Kinan mengangguk kemudian. "dia..sempet nanyain kamu waktu itu."

"nanyain aku?" cowok itu menaikkan alisnya heran.

"udah lama gak ketemu," sambung Kinan.

Detik berikutnya Attala mengangguk paham sambil menggumamkan kata 'oh' panjang. Hubungan Attala dan Jeff tidak lebih dari sekedar perkenalan yang membuat keduanya pernah mengibarkan bendera perang masing-masing. Tidak tau kalau sekarang. Bisa jadi masih sama meski satu pihak sudah menyatakan kalah. Atau berdamai demi kehidupan yang lebih baik.

"mungkin ada yang mau diomongin ke aku kali," lanjut Attala sambil terkekeh samar. Asal sebut, yakin tidak yakin. "he such a good man, i think. Keliatan kok, kamu bahagia sama dia." sambungnya.

Iya, Kinan memang bahagia hidup bersama dengan suaminya sekarang. Namun kata-kata yang terlontar dari mulut Attala itu cukup membuatnya seperti tersambar petir.

Nadanya sarat akan kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Penyesalan yang mungkin takkan bisa ia perbaiki sampai kapanpun.

Gak enak banget kayak gini, sumpah.

Kinan tak menjawab, hanya sedikit menundukkan pandangan dengan senyum tipis.

Beberapa detik dibiarkan begitu saja dengan suasana canggung. Tak ada yang bicara lagi. Masing-masing asik dengan pikirannya sendiri. Sampai akhirnya jerit ringtone favorit Kinan menyentaknya kembali pada realita dunia.

Sejenak ia menghela nafas kemudian mengangkat panggilan masuk tersebut.

"halo?"

"kamu dimana?" suara sang suami diseberang sambungan terdengar berat.

Diliriknya sekilas Attala terdiam. Cowok itu mengangguk sekali dengan senyum penuh pengertian. Membuat Kinan beranjak dari tempatnya duduk dan berdiri sedikit menjauhi meja. Bukan takut percakapannya didengar orang lain atau bagaimana, ia hanya merasa tidak enak hati pada Attala.

"aku masih di kafe. Kamu udah pulang?" jawab Kinan sekaligus memberikan pertanyaan.

"lagi dijalan. Baru masuk tol,"

"oh, ya udah kalo gitu aku juga siap-siap pulang deh. Kamu hati-hati, pap."

"oke, aku tunggu di rumah. Aku sayang kamu."

Kinan terkekeh mendengarnya, "hm, aku juga sayang kamu." jawabnya.

Setelah itu telepon ditutup. Ia kembali ke meja dimana masih ada Attala disana. Keduanya sama-sama melirik jam, sudah pukul sembilan kurang sekarang. Suhu udara pun sudah semakin dingin khas malam.

"ini aku bayar dulu ya?"

"eh, gak usah. Aku traktir kok," cegah Kinan sesaat sebelum Attala beringsut dari tempatnya.

Cowok itu mengangguk kemudian. "oke, thank's ya." ucapnya sambil tersenyum lagi. "kamu masih ada kerjaan atau mau pulang abis ini?"

"aku mau pulang. Takut Jeff nungguin."

Air muka Attala langsung berubah sedikit lebih muram. Meski sebisa mungkin ia tutupi itu dengan berbagai cara, tapi tetap saja terlihat.

Cowok itu tersenyum getir. Wanita seperti Kinan pernah ia sia-siakan. Jadi tidak adanya kata kembali sudah menjadi konsekuensi dari perbuatannya dulu.

✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An IntelligenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang