Hari demi hari terlewati. Hingga tiba pada waktunya bagi Giandra untuk berangkat ke Bali dan menggapai mimpinya yang indah.
Satu malam sebelum keberangkatan, cowok menggemaskan itu tak pernah lepas dari kedua adik perempuannya. Bangun pagi kemudian jogging sekitar rumah, berenang dikolam renang rumah, berkeliling dengan vespa kuning setiap sore atau membantu mama berbelanja. Kebetulan sekolah sedang libur setelah ujian nasional. Terhitung sejak kurang lebih seminggu yang lalu.
Entah berapa lama ia akan berada di Bali, yang jelas momen seperti ini akan sulit untuk terjadi. Kemungkinannya begitu ia kembali, dua adiknya itu sudah menjadi gadis remaja yang cantik.
Pada ruang kamar yang sepi itu, Giandra duduk diam dimeja belajarnya. Menatap benda kecil berbentuk kelinci yang terbuat dari kulit kerang, pemberian Irenia waktu itu.
Setiap pertemuan pasti selalu diikuti kata perpisahan. Entah berpisah untuk kembali atau berpisah karena takdir Tuhan. Giandra sendiri tidak tau dirinya berada diposisi yang mana sekarang.
Mencintai Irenia adalah satu ujian terindah yang Tuhan berikan padanya. Mengenal bagaimana caranya untuk bersabar juga ikhlas, belajar untuk dapat menerima tanpa mengharapkan balasan, dan mencintai tanpa mengenal kata tapi. Semua ia rasakan bahkan secepat yang tak terduga.
Ia memang sangat menginginkan gadis itu, tapi mengingat kepergiannya yang tak sebentar, sulit membayangkan jika Irenia akan menunggu selama waktu yang tidak ditentukan. Giandra tak ingin membuat orang yang disayangnya merasa terkekang dengan perasaan yang menggantung.
"berhubung gue pergi minggu depan, Iren gue titip ke elo ya."
"ck, Gi—"
"gue janji bakal balik. Untuk saat ini aja, ya?"
Gibran tak membantah lagi. Ia menghela nafas pasrah. "lo berdua pacaran?"
Giandra lantas terkekeh kemudian menggeleng, "belum." jawabnya.
"au ah. Lo kan tau gue bakal kemana abis ini, Gi."
"ngejagain gak perlu ketemu langsung kok. Setidaknya lo sama Iren tetep komunikasi, selagi bisa. Gue pun akan begitu."
Irenia membuka suara, "emang kamu mau lanjut kemana, Gib?"
Pertanyaan yang sukses membuat dua cowok itu mematung ditempat. Keduanya saling pandang sesaat dengan sorot kebingungan.
"nanti juga lo tau." jawab Gibran.
Obrolan satu minggu yang lalu itu kembali berputar dalam memori kepalanya. Itu terjadi di kamar ini saat ketiganya duduk berkumpul dan melingkar diatas tempat tidur.
Tiba-tiba pintu kamar dibuka, menampilkan dua gadis kecil dari luar sana dengan wajah cemberut.
Giandra langsung tersenyum dan menghampiri adik-adiknya yang sudah mengambil posisi bersila diatas kasur. Mereka menatap kakaknya itu dengan sorot kesal dan sedih.
"kenapaaa? Kok cemberut semua?" tanyanya.
"kakak kenapa harus pergi sih?" tanya Rere murung, "emang harus banget?"
Cowok itu mengusap kepala adik pertamanya dengan penuh kasih sayang, tak tega jadinya. "kan perginya gak lama." ucapnya.
Sementara itu Shasha hanya terdiam, ia menunduk sambil memainkan jemarinya yang mungil. Lalu kemudian Giandra menggenggamnya, membuat si bungsu otomatis mengangkat pandangan kearahnya.
Gurat kesedihan itu semakin terasa ketika akhirnya Shasha mulai terisak. Semakin lama semakin sedih sampai nafasnya tersenggal-senggal.
"udah dong jangan nangisss." ujar Giandra sambil menarik Shasha kedalam pelukannya. "kakak pergi dulu ya, nanti kan pulang bawa oleh-oleh." bujuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An Intelligence
FanfictionPernah mendengar kutipan "a man isn't complete until he has seen the baby he has made." nya Sammy David Jr? Kira-kira seperti itulah yang dirasakan oleh Jeff sebagai suami dan calon papa untuk anaknya. Ia harus membagi waktu antara tugas dan menema...