-Unico-

3.5K 495 158
                                    

Dengan langkah mengendap-endap, tiga orang yang terdiri dari dua laki-laki dan satu perempuan memasuki rumah lewat pintu depan yang memang belum dikunci. Gibran, sebagai tuan rumah berjalan paling depan dan menyuruh dua temannya untuk masuk ke kamar terlebih dulu. Setelah pintu tertutup rapat, ketiganya baru bisa bernafas lega.

Mereka memutuskan untuk bermalam di kediaman Gibran karena tidak ada tempat nongkrong yang asik pula mengingat hari sudah larut. Tapi yang jelas ketiganya tidak ingin ambil resiko —takut-takut kalau kebetulan ada patroli malam dan mereka terciduk lalu diamankan petugas karena dianggap komplotan gengster. Berurusan dengan polisi sama dengan bekerja tambahan, ribet.

Irenia melihat jam bundar yang menempel di dinding, sudah pukul dua belas lewat. Setelah itu ia melirik Giandra yang sudah mengambil posisi terlentang diatas tempat tidur milik Gibran.

Karena dalam beberapa menit tak ada yang bicara, mereka pun saling bertukar pandangan. Giandra masih dengan posisi yang sama, Gibran berdiri mematung didekat pintu dan Irenia yang juga tak bergeming.

Sumpah demi Tuhan, Gibranlah yang paling kebingungan disini mengenai dimana mereka akan tidur. Ayahnya itu termasuk tipikal orangtua yang galak, jadi kalau sampai ia ketahuan membawa teman perempuan ke rumah —ralat, ke dalam kamarnya, itu sama saja dengan mengakhiri hidupnya secara tragis.

"kita tidurnya gimana ya?" tanya cowok jangkung itu sambil menggaruk kepalanya. Ia berbicara benar-benar pelan, nampak seperti bertanya pada diri sendiri. "lo berdua disini aja deh, gue bisa tidur diluar."

"EH—" Irenia kaget.

Sontak Giandra yang sedang bersantai juga langsung duduk tegap. Ia membulatkan mata kearah Gibran untuk memastikan bahwa telinganya tidak salah mendengar.

Tidak perlu waktu lama sampai Gibran menyadari bahwa ia baru saja salah bicara, karena dua orang didepannya langsung memberikan tatapan terkejut mereka yang seolah mengatakan lo gila.

"soriii. Sori banget!" lanjutnya dengan sedikit penekanan juga gerakan tangan yang menunjukkan bahwa ia cukup ngeri ditatap seperti itu. "sumpah gak gitu Ren, maksudnya lo tidur disini, nanti gue sama Gian diluar."

Ketegangan diwajah ketiganya perlahan memudar, terutama bagi satu-satunya cewek yang mendadak minggat dari rumahnya itu.

Giandra tak banyak bicara, ia langsung beranjak dari tempatnya untuk segera keluar. Sebelum membuka pintu, ditepuknya lengan Gibran sekilas. "buru keluar." ucapnya datar.

Pada akhirnya dua cowok itu harus mengalah. Mereka membiarkan Irenia tetap di kamar dan jangan sampai ketahuan oleh penghuni rumah lainnya.

Ternyata kebingungan itu tidak cukup sampai disana. Baik Giandra maupun Gibran, keduanya duduk diam seperti arca batu dengan masing-masing mata menatap lurus kearah lantai dua. Sebuah ruangan dengan lampu yang sudah dimatikan. Pasti orangtua Gibran sudah tertidur.

Pandangan mereka beralih pada ruangan yang tepat berada disebelahnya, tempat dimana Irenia berada sekarang.

"bokap gue kan galak, Gi."

"udah tau. Terus gimana?"

"kalo kita geletak disini, besok pagi dia liat."

"ya pasti liat, bokap lo kan punya mata." balas Giandra yang membuat Gibran langsung menghela nafas sedalam-dalamnya. Ia gemas dan ingin sekali mencekik sahabatnya itu.

"lo anak siapa sih?" tukas Gibran datar. Namun yang ditanya tak menjawab, malah nyengir lebar.

Hanya dengan beralaskan karpet bulu dan bantal sofa yang bentuknya kotak mirip es batu, dua cowok itu langsung ambil posisi. Gibran yang tadinya nangkring diatas sofa mendadak berpindah ke dekat Giandra.

✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An IntelligenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang