Malam itu Jeff dan Kuncoro mampir ke kantor karena adanya urusan tertentu yang terkait dengan hasil visum dari rumah sakit. Pandangan keduanya teralihkan pada sekumpulan remaja yang sepertinya bagian dari genk motor, sedang diberikan pengarahan oleh anggota.
Tak lama tiga mobil dinas tiba dari kejauhan. Beberapa orang keluar dari dalam bersama dengan tiga orang tersangka suatu kasus yang sudah diborgol tangannya. Ketiga-tiganya nampak dipapah saat berjalan karena dihadiahi timah panas oleh petugas. Tidak heran, mereka pasti melakukan perlawanan saat diringkus polisi.
Kuncoro menoleh pada Jeff yang berjalan disebelahnya, "kerjaan si Tirta tuh ya?" gumamnya.
Belum sempat Jeff membuka mulut, orang yang mereka bicarakan terlihat berlari menyusul yang lain dengan rompi anti peluru melekat ditubuhnya. Keduanya lantas tertawa.
"gak mau ikutan lagi, Jeff?"
Cowok itu tertawa pelan, "dokter aja mending, saya udah pernah." balasnya bercanda.
Dari salah satu ruangan yang mereka lewati juga terdapat banyak orang. Ada dua orang yang sedang dimintai keterangan mengenai kasus lainnya.
Yang biasanya kantor ramai, hari ini lebih ramai lagi. Bisa terbayang kan tugas dan pekerjaan seorang anggota polisi seperti apa.
Jeff jadi teringat saat dirinya masih menjadi intel. Bermalam di tempat yang tidak diketahui demi mengintai incaran. Pulang pagi dengan wajah kucel dan lelah. Semua indah pada masanya.
Tapi kalau ditanya ingin lagi atau tidak, jawaban yang keluar dari mulutnya adalah tidak. Ia lebih memilih menggunakan keilmuan medisnya selama sepuluh tahun berpendidikan daripada mengejar orang dengan pistol ditangannya.
Keduanya masuk ke ruang yang dituju setelah mengetuk pintu terlebih dulu. Kemudian mulai mendiskusikan hasil yang telah mereka peroleh sebelumnya.
Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul setengah sebelas, hampir tengah malam. Niatnya ingin segera pulang gagal karena mereka berpapasan dengan Johnny ditengah koridor. Pria jangkung itu mengajak kedua rekannya untuk mencoba kedai kopi baru disebelah kantor —yang buka dua puluh empat jam.
Mereka sama-sama lelah, jadi kopi adalah minuman terbaik untuk mengganjal mata agar tidak mengantuk saat berkendara. Terutama Jeff yang harus menempuh kurang lebih satu jam perjalanan meski lewat tol sekalipun.
Tiga-tiganya punya istri, bahkan yang dua sudah ada anak. Tapi kalau menyangkut profesi seperti ini, tak ada yang dapat dilakukan lagi. Mau tak mau istri mereka harus mengerti konsekuensinya. Itulah mengapa seorang polisi harus mencari pendamping yang sabar, banget.
"lembur ya kalian? Sampe hari gini belum pulang,"
Johnny menyelipkan satu batang rokok dibibir lalu membakar ujungnya dengan korek yang ia pinjam dari meja sebelah. Sambil menyerahkan kembali pada si pemilik yang sepertinya masih sekolah menengah atas, ia berkata, "thanks ya. Eh ini kalian kelas berapa?"
Meja bundar yang terdiri dari tiga remaja laki-laki dan satu orang perempuan itu menjadi daya tarik Johnny untuk mengalihkan fokusnya sesaat. Keempatnya langsung memasang ekspresi yang serupa. Malas dan takut. Malas karena ditanya-tanya, tapi juga takut diciduk karena melihat seragam si penanya.
"dua SMA, pak." jawab salah satu dari mereka.
Johnny lantas berdecak disertai gelengan kepala perlahan. Ia memiringkan sedikit kepalanya untuk menatap satu-satunya perempuan yang ada diantara remaja tersebut.
"kamu namanya siapa?" tanya Johnny.
"Nadia, pak."
Lagi-lagi Johnny berdecak, membuat Jeff dan Kuncoro menyembunyikan tawa gelinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An Intelligence
FanfictionPernah mendengar kutipan "a man isn't complete until he has seen the baby he has made." nya Sammy David Jr? Kira-kira seperti itulah yang dirasakan oleh Jeff sebagai suami dan calon papa untuk anaknya. Ia harus membagi waktu antara tugas dan menema...