Tadinya Irenia pikir Giandra akan mengajaknya ke tempat wisata. Namun, dugaannya meleset kala mobil sewaan itu terparkir didepan pintu masuk sebuah pemakaman.
Karena Giandra turun lebih dulu, jadilah ia menyusul dengan cepat. Meski kedua mata dan otaknya masih mencari tau apa yang akan dilakukan oleh cowok itu selanjutnya.
"yuk," ajaknya sambil tersenyum.
Karena pada dasarnya Irenia pun tak akan pernah menolak, diikutinya langkah cowok itu masih dalam diam. Menelusuri jajaran rak berukuran besar dengan guci cantik yang didalamnya sudah pasti merupakan abu dari seseorang yang tak lagi ada. Disisi kanan atau kirinya terselip berbagai jenis bunga, pemberian dari mereka yang datang berkunjung.
Namun, langkah Giandra tak berhenti sampai disana. Ia terus berjalan sampai pada tujuan terakhirnya. Satu gundukan kuburan dengan rumput hijau diatasnya dan batu nisan yang menempel, sedikit lebih menyembul sebagai tanda. Diatasnya bertuliskan sebuah nama yang begitu indah, Auristela Zeline Jovanka El Bara.
Irenia mengenali dengan jelas nama belakang yang ada disana. Persis dengan nama yang disandang oleh lelaki disebelahnya saat ini.
Giandra menoleh sekilas kemudian berjongkok disisi kubur. Membuat Irenia akhirnya mengikuti lagi dan lagi pada sisi yang berseberangan.
"inget waktu itu aku pernah bilang mau kenalin kamu sama seseorang di Bali?" tanyanya membuka suara.
"inget," jawab cewek itu.
"dia yang aku maksud." sambungnya lagi lalu mengusap batu nisan tersebut dengan senyum sendu terukir dibibir.
Mengesampingkan bentuk dan tata letak dari tiap makam disini —yang sepertinya mempekerjakan orang-orang sesuai dengan keahliannya, karena lagi-lagi pemakaman ini tertata dengan sangat rapi dan benar-benar terjaga kebersihannya. Irenia berfokus pada satu-satunya yang ada dihadapan mereka.
Bukannya tidak menyadari bahwa makam tersebut berukuran kecil, hanya saja gurat kesedihan dalam wajah Giandra lebih mengambil alih atensinya.
"Auris, adikku yang pertama. Dia meninggal waktu masih dalam kandungan." lanjutnya.
Irenia langsung memandangi nisan itu dan ikut menggerakkan tangan diatasnya, merasakan hanya dengan bantuan kulit bagaimana dalamnya guratan nama yang ada. Pun ikut merasakan duka didalamnya.
"waktu itu aku masih lima tahun dan belum ngerti apa-apa. Kejadiannya pun lupa, yang jelas pas kami tinggal di Bali. Papa cuma bilang adek pergi, udah punya rumah sendiri juga, tinggalnya sama Tuhan." tutur Giandra dengan sorot pilu ketika mengingat cerita masa lalu tentang adiknya.
Sambil tersenyum tipis, Irenia beranjak. Ia berpindah ke samping Giandra dengan posisi yang sama. "Gi, adik kamu jauh lebih bahagia disisi Tuhan. Tapi bukan berarti dunia ini gak baik buat dia," ucapnya.
Digenggamnya tangan Giandra dengan lembut lalu ia tautkan jemarinya. Membuat cowok itu langsung menoleh dan menatap matanya.
"kamu orang pertama yang datang kesini selain keluarga aku, Ren. Kamu wanita pertama yang aku kenalin ke adik-adikku termasuk Auris, dan mungkin gak ada lagi."
Mendengar itu membuat Irenia tersenyum seketika. Ia mengangguk lambat disertai kedipan mata yang mengartikan bahwa ia sangat paham betapa Giandra menaruh rasa yang dalam untuknya.
Demi Tuhan kalau boleh ia bersujud sekarang, akan dilakukannya segera. Ia wanita paling beruntung karena mendapat cinta dari pria seperti Giandra. Mental berjuang yang tahan banting meski berulang-kali harus terjatuh dengan luka. Tapi Giandra masih saja mencintainya dengan tulus.
"makasih ya, kamu udah ajak aku kesini dan ketemu sama adik kamu yang lain. Aku seneng banget bisa ada disini." balas Irenia tenang.
Setelah itu senyum dibibir Giandra terbentuk, seraya ia eratkan genggaman tangannya. Tak perlu lagi membalas ucapan sang gadis, mereka sudah saling mengerti karena hati sudah terkoneksi satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An Intelligence
FanfictionPernah mendengar kutipan "a man isn't complete until he has seen the baby he has made." nya Sammy David Jr? Kira-kira seperti itulah yang dirasakan oleh Jeff sebagai suami dan calon papa untuk anaknya. Ia harus membagi waktu antara tugas dan menema...