-Entre-

3.9K 555 198
                                    

Selama lima hari ujian kenaikan kelas berlangsung dengan sebagaimana mestinya. Hanya saja, cewek kelas sepuluh yang kedapatan duduk disebelah Giandra sejak pertama masuk seringkali tak dapat berhenti menggerakkan kakinya karena gugup. Dampaknya jadi satu meja bergetar layaknya ada gempa dengan skala yang cukup besar.

Sudah menjadi tradisi setiap kali ujian —baik ujian tengah semester maupun ujian kenaikan kelas, pola duduk dalam kelas akan diacak. Bisa jadi dapat duduk bersebelahan dengan kakak maupun adik kelas. Dan tahun ini kelas dua belas sudah menyelesaikan ujian nasional mereka.

Giandra yang sedang menopang kepala dan berpikir keras untuk mengerjakan soal matematika itu jadi terdistraksi. Ia menoleh, memandangi adik kelas yang duduk bersamanya lamat-lamat. Hari terakhir ujian, dan cewek itu masih sering menggerakkan kakinya seperti ini.

"Nadira?" panggilnya usai melirik deretan nama pada bagian atas kertas jawaban.

Yang dipanggil langsung terkejut. "iya kak?"

"kamu kenapa?"

Jangankan ditanya mengapa dengan embel-embel 'kamu', dipanggil namanya saja cewek itu sudah hampir kehilangan seluruh pikirannya. Ia hanya menggeleng sambil nyengir kaku.

"kebelet?" tanya Giandra lagi.

Kali ini yang ditanya benar-benar bengong.

Baru cowok itu akan membuka mulut lagi, suara guru yang mengawas keburu menyela. Diberikannya satu peringatan yang langsung membuat hampir seisi kelas menoleh kearahnya. Sekaligus ancaman kartu ujiannya akan dirobek jika terdengar berisik sekali lagi.

Giandra menghela nafas sesaat lalu kembali berfokus pada soal ujiannya yang sudah seperti daftar harga sembako tahunan itu. Melintir dan penuh teka-teki yang membuatnya pusing tujuh keliling.

Tak jauh disebelahnya, hanya berjarak satu meja, Gibran diam-diam mengulum bibir menahan tawa. Sudah lama tidak menyaksikan sahabatnya itu berdebat dengan para guru. Melihat Giandra takluk hanya dengan satu ancaman baginya lucu sekali.

Bel terakhir menjerit nyaring. Seluruh murid dengan serempak mengumpulkan lembar jawaban masing-masing pada guru yang mengawas, lalu berbondong-bondong keluar dari kelas tersebut untuk pulang ke rumah masing-masing.

"Gi!" Gibran langsung merangkul bahu Giandra ketika ia berhasil menyamakan langkah dengannya, "langsung balik?"

Yang ditanya hanya mengangguk.

"gue ikut! Kangen sama nyokap lo." ucap Gibran yang langsung mendapat lirikan sinis satu detik kemudian.

"emak gue lagi pelantikan."

"ya udah gue nginep."

"si kampret!"

Tawa Gibran pecah, seraya ia eratkan rangkulannya dengan maksud mempercepat langkah. Tiba di parkiran, keduanya langsung menaiki kendaraan masing-masing. Tanpa banyak membuang waktu lagi mereka pun segera pergi.

Dua motor yang berjalan sejajar melewati gerbang itu memiliki sisi yang berbeda bagi mereka yang melihatnya. Satu cowok banget, sementara satu lainnya imut abis. Yang satu helmnya fullface, satu lagi helmnya mirip sukro. Terbayang?

Meski begitu, tak menyurutkan warga SMA LinggarJati untuk menaruh hati pada keduanya. Masing-masing memiliki keunikan dengan porsi yang pas. Jatohnya jadi lucu.

Tidak menjadikan baik Giandra maupun Gibran saling iri antara satu sama lain. Mereka merasa kehidupan untuk dilengkapi dengan ciri khas masing-masing, bukan dijadikan ajang untuk bertarung. Apalagi soal perempuan. That's a big no untuk mereka berdua.

✔ [0.2.1] PAPA - Sequel An IntelligenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang