Play list | cover Lia Magdalena Hanya Rindu.
Aku membuka pintu rumahku, hari ini aku uda lengkap dari atas sampe ujung kaki dengan perlengkapan sekolah. Setelah sibuk stres sambil menikmati es kelapa, aku akhirnya nekad hari ini pergi ke sekolah. Meskipun aku ga yakin bisa masuk kedalam kelas. Tapi, setelah dipikir pikir kalo aku membolos tak jelas seperti lalu lalu, tak akan menyelesaikan masalah ku. Lebih baik memberanikan diri pergi ke sekolah.
Sampe didepan kelas, pelajaran tampaknya baru saja dimulai, aku sih, kebanyakan mikir tadi dihalte, jadi telat kan masuk.
Kuketuk pintu kayu itu, aku masuk setelah ada suara yang memanggil aku mendekat. Dapat kulihat wajah guru bahasa Indonesia yang menatapku dengan raut wajah seperti baru pertama kali melihat monyet. Biasa aja dong!
"Dari mana saja kamu?!" tanya beliau dengan mata menatapku tajam, tak ketinggalan nada ngegasnya seperti biasanya.
"Maaf bu." Ucapku menundukkan wajahku, dapat kulihat sepatu sekolahku yang minta diganti sama yang baru. Duh, miris banget sih.
"Maaf, maaf. Kamu tau tidak, ujian uda dilangsungkan dua hari yang lalu. Malah tidak masuk kelas. Kalau sakit setidaknya kirimi surat!" nasehat beliau panjang kali lebar kali alas kali sisi kali kaki.
"Temui pak Herman hari ini!" perintah bu Sinta, aku berjalan meninggalkan kelas yang hari ini belajar pidato.
Aku berdiri menatap pintu ruangan pak Herman, masuk tidak masuk tidak masuk tidak masuk tidak masuk tidak?
Akhirnya aku masuk kedalam ruangan pak Herman, tentunya dengan nekad yang ga seberapa.
"Duduk!" suruh beliau menyuruh aku duduk dibangku didepan meja beliau. Pak Herman menatap aku dengan sorot mata tajam.
"Kamu tau kenapa saya memanggilku kemari?" tanya pak Herman tegas. Aku menggeleng cepat, emang aku ga tau. Lagian hari ini aku itu sekolah bermodalkan nekad doang. Di masukan enggaknya kedalam kelas, urusan belakangan. Eh, taunya malah masuk ruangan walas. Benar benar nasib buruk.
"Saya tidak tahu apa masalah kamu, tapi tolong kamu bawa orangtua kamu besok kemari, ada yang ingin saya bahas dengan wali kamu. Masalah belajar, uang seragam, dan kehadiran kamu." Kata beliau kepadaku, dengan wajah masih menatap aku dengan datar.
"Baik pak." Jawabku. Aku ga tau mau ngomong apa lagi, mau bilang jujur, ga ada uang juga ga ada gunanya. Malah kelihatan kalau keluargaku itu rendah dimata pak Herman. Bisa bisa keuangan kami dijengkali. Martabat itu harus dijaga. Jadi lebih baik aku memilih diam. Padahal otakku uda pusing mikir gimana bujuk ibu agar mau datang kesekolah.
"Kalau begitu, ini surat panggilan untuk orangtua mu." Pak Herman memberikan aku secarik kertas, aku menerimanya dengan perasaan kacau, sekacau hidupku.
Ku simpan kertas itu dikantong tas sekolahku. Ngapain ni aku hari ini? pulang? langsung kerja? atau mulung di jalanan? mulung hati cowok. Eakkk!
Andai aku pintar, mungkin mama ga akan ninggalin aku. Benarkan?
"Ma boleh ga aku pergi sama Jihan--"
"Pr mu uda siap?" tanya mama waktu aku membujuk agar dikasih pergi malam mingguan makan bakso didepan gang yang lumayan jauh dari rumah.
"Uda dong!" jawabku cepat, aku mengupas bawang untuk sambal ikan hasil pancingan papa yang ga seberapa.
"Les sama bu Lee uda?" tanya mama lagi, bu Lee yang dimaksud mamaku, guru les mandarin yang datang tiap malam minggu sama senin, aku bosan banget les les terus. Mainnya kapan?
"Libur les sekali aja ya, mah. Sekali aja, besok aku janji les serius. Sekali ini aja ya ma, boleh ya? Jihan nanti jemput aku. Ma. Boleh ya?" tanyaku memelas, mama menatapku, aku tersenyum manis berusaha membujuk mama yang hatinya sekeras baja.
"Kamu mau main main?" tanya mama mengambil ahli tugasku, aku mengangguk cepat, sangking semangatnya aku melompat di tempatku.
"Dapatkan dulu peringkat satu!" judes mama. Aku berhenti melompat, aku menatap ga percaya sama mama.
"Aku kan juga pengen main diluar rumah ma. Belajarkan bisa kapan aja?! kenapa mama ga bisa ngertiin perasaan Yaya?!" tanyaku mulai kesal, aku mendudukkan pantatku diatas kursi.
"Mau main? yauda tinggal dapatkan peringkat satu! itu aja susah!" ujar mama memasukan bahan bahan yang aku kupas tadi kedalam blender. Kok aku pengen nangis ya, punya mama sekejam ini? aku kan pengen main main seperti temanku. Ga di rumah, disekolah, mama ga ngasih aku privasi. Maunya aku nuruti semua kemauannya. Belajar, pintar, sukses.
"Mama jahat! mama ga sayang sama Yaya! masa aku ga bisa pergi sama temanku!" bentakku marah, aku memukul meja makan tanpa sadar.
"O, uda melawan sekarang? kau itu kalo diajarin orangtua harusnya nurut. Bukan melawan kayak gini--"
"Tapi aku uda menuruti kemauan mama--"
"Kau uda masuk peringkat satu?" tanya mama memotong ucapanku. Aku mendengus kesal, dengan air mata yang uda membasahi kedua pipiku, aku pergi kekamar.
Sekarang, aku merindukan sosok mama ku yang menyebalkan. Mengajarkan aku arti kerja keras. Yaya rindu ma, kapan mama peluk aku lagi, ngajarin aku pidato lagi, ngasih aku tugas numpuk lagi, nyuruh aku harus les, maksa aku masuk peringkat satu! mana mama ku yang dulu?
KAMU SEDANG MEMBACA
TANGISAN YAYA [COMPLETED]
Teen FictionMengandung banyak bahasa kasar! [ BELIM REVISI ] Yaya gadis kelahiran asli Bandung.18 tahun sudah pengalaman pahit selalu menemaninya. Tak pernah sekalipun ada seseorang yang benar benar tulus mencintainya. "Jalang!" "Anak bodoh!!" "Kau tak pantas...