Play list | Davichi please don't cry.
Kubuka pintu rumah tentunya dengan sangat hati hati, aku menatap sekitar rumah. Ibu yang katanya mau bicara ga ada disekitar rumah tamu. Aku berjalan kearah tangga, tapi dari arah dapur aku mendengar suara orang yang lagi ketawa senang. Aku mengintip sedikit dari balik dinding yang dapat melihat kedapur. Dimeja makan, ibu sedang berbincang dengan seseorang yang membelakangi aku. Kulihat dari punggungnya sepertinya masih seusia pak Herman. Tiba tiba ibu melirik kearah ku, aku yang berpose ga sedap dipandang mata, segera memasang senyum manis pada ibu. Tau sendiri, orang kejam itu ga akan terpengaruh sama senyum, mau itu senyum manis, senyum kecut, senyum odol. Persetan!
"Sini, anak ibu uda pulang." Suara ibu yang dibuat seramah mungkin menyambut kedatanganku, malah kayak jablay kesasar di kuping ku.
Aku yang ga mau dilempar golok sama ibu, apa lagi lokasi ibu sekarang di dapur.
"Kenapa bu?" tanyaku, ibu menatap kearah sepatuku, oiya, aku asal main masuk kerumah aja belum juga buka sepatu, aku hendak membuka sepatuku yang warnanya uda luntur, talinya juga tinggal benang gitu. Miris sih liatnya, tapi inilah kenyataan. Kenyataan pahit yang harus aku jalanin. Tapi ibu keburu menahan niatku itu.
Kulihat pria yang tadi membelakangi aku, membalikan tubuhnya kearahku, pria itu tampak seperti muka muka fakboy julukan anak muda sekarang yang kalo ngeliat cowok bermain brengsek sama cewek Gimana ya jelasinnya, pokoknya mukanya itu kayak minta ditonjok. Songong, kek ngajak aku baku hantam sama dia.
"Ini anak tiri saya." Ibu menggeser bahuku seolah menyuruh aku mendekati pria itu. Pria yang awalnya duduk diatas kursi itu, langsung beranjak dari bangkunya.
"Kenalin namamu." Suruh ibu dingin, ga ketinggalan cubitan maunya dibokongku.
"Y--aya."
"Ga perlu basa basi lagi. Saya bisa bawa dia sekarang?" tanya pria itu memandang wajah ibuku. Aku yang ga ngerti apa yang baru saja diucapkan pria itu, mencoba bertanya kepada ibu.
"Silakan. Jangan lupa dipulangkan. Waktunya sudah kita tetapkan." Ujar ibu tertawa setan.
"Ikut saya." Ajak pria itu dingin, aku yang ga ngerti apa yang baru saja bahas, tetap berdiam ditempat aku berdiri. Sampe ibu memitas kepalaku, aku masih ga bergeming.
"Saya sudah membayar kamu."
Wait. Kasih aku beberapa waktu untuk mencerna ucapan pria ini. Apa pria ini aku sejenis buah buahan, atau sejenis sayuran? main bayar bayar aja.
"Pergi sana, layani pelanggan kita." Ucapan ibu barusan membuat aku kaget, aku menoleh kearah ibu. Ibu tersenyum manis tapi tatapannya hanya tertuju kearah pria itu.
"Maksud ibu apa?" tanyaku mulai terbawa suasana. Aku mencoba meminta penjelasan ibu, bukannya menjelaskan ibu malah mendorong bahuku kearah pria itu.
"Bukannya kau jalang?" tanya pria itu dingin, ga ada segaris senyum di bibirnya yang agak hitam. Aku yang didorong sama ibu seketika menghentikan tenang ibu yang masih setiap bersemayam dibahuku.
"Aku bukan jalang! jangan sembarangan bicara pak!" dengusku kesal, aku hendak menampar wajahnya. Tapi belum saja aku jalan dua langkah, tangan ibu uda menampar wajahku.
"Bicara yang sopan! kau membuat pelanggan takut."
"Ibu mau jual aku?"
"Iya. Kenapa?!" tanya ibu lantang, ingin rasanya aku melakban mulut ibu yang dengan muda menjawab iya. Sebenarnya apa kesalahanku kepada wanita pilihan ayah ini. Kenapa dia terobsesi sekali ingin menjual aku. Padahal aku ini manusia, bukan sejenis barang yang bisa diperdagangkan.
"Aku ga mau bu. Aku anak ibu---"
"Ga usa banyak ngomong. Pergi sana!"
"Aku ga mau melayani pria hidung belang! aku anak ibu--"
"Mala drama lagi anak sialan ini!" ibu mendorong bahuku lagi. Aku menghempaskan tangan ibu dari bahuku.
"Ibu tega jual anak sendiri? hanya demi uang bu? ibu tega menjual aku yang masih berstatus anak ibu? ibu jahat ya. Tega ibu---"
"Ckck, ngelantur ga jelas." Judes ibu mendorong keningku kesamping. Mendengar ucapan itu, semakin membuat aku naik darah. Aku berjalan cepat kearah pria itu.
"Sampe kapanpun aku ga akan melayani pria kotor! Lebih baik aku memilih mat----"
"YAYA!!" teriak ibu memanggil namaku. Aku seolah tuli, aku ga peduli teriakan ibu seperti kemasukan dedemit.
"Saya minta uang saya dikembalikan. Wajahnya pas pasan, tapi ucapannya ga sesuai dengan wajahnya membuat saya muak. Tolong transfer uang saya nanti." Dingin, tapi membuat hatiku sedikit lega. Pria itu berjalan menjauh meninggalkan rumah kami, ibu yang baru loading langsung menyerang aku.
"Anak jalang!" maki ibu, ditariknya kencang rambutku. Aku mencoba menarik tangan ibu, melihat perlawanan ku itu, ibu malah menendang tulang keringku.
"Lihat, kau baru saja menghilangkan uangku." Teriak ibu kasar, tangannya menampar kedua pipiku. Kali ini lebih keras, tanpa ampun. Aku meringis memegangi kedua pipiku yang terasa kebas.
"Awas saja kau ga bisa mengganti uangku. Aku ga segan segan melemparmu kerumah bordil!" ibu memitas keringku. Tubuhku luruh kelantai setelah ibu meninggalkan aku seorang diri, tangisku pecah didepan pintu dapur. Aku menangisi diriku yang ga pernah beruntung, seperti orang orang diluar sana, yang selalu tersenyum. Punya ayah, punya ibu, punya kebahagian. Sedangkan aku? inilah aku. Yaya dengan segala tangis ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANGISAN YAYA [COMPLETED]
Teen FictionMengandung banyak bahasa kasar! [ BELIM REVISI ] Yaya gadis kelahiran asli Bandung.18 tahun sudah pengalaman pahit selalu menemaninya. Tak pernah sekalipun ada seseorang yang benar benar tulus mencintainya. "Jalang!" "Anak bodoh!!" "Kau tak pantas...