Jam istirahat pertama uda hampir 15 menit berlalu, sekarang jam pelarajan olahraga. Bian mengajak Yaya berbicara sebentar didepan ruang ganti cewek. Yaya hanya diam, karna Bian masih belum ngomong apa apa. Dia juga ga tau saudaranya itu mau ngomong apa. Tiba tiba aja Bian bilang mau ngomong, pas habis sarapan dari kantin, Bian emang bilang mau ngomongin hal serius. Bahkan wajahnya itu datar, marah, kayak orang habis bertengkar hebat. Emang hal serius apa coba? Bian nyesal uda lunasi uang seragam dia? kan dia ga ada maksa, kalau ga ikhlas ga usa maksa.
"Apa aja yang ga mami kasih?" tanya Bian dengan nada sedingin es, wajahnya juga datar, ga ada segaris senyum pun. Yaya jadi merinding ngeliatnya.
"Apa aja?!! bilang, ga usa ditahan tahan, biar aku yang tanggungjawab semua apa yang kau butuhkan." Bian melanjutkan, Yaya mengerutkan dalam keningnya, ia ga ngerti sama sekali apa yang dibicarakan Bian. Maksudnya apa coba? tiba tiba marah, terus mau tanggungjawab, tanggungjawab apa? Bian ga ada ngamilin dia. Astaga.
"Jadi selama hampir empat minggu kau ga pernah ke kantin? karna ga bayar uang kartu? jadi mami ga ada bayarin uang makanmu disekolah?! jahat ya mami, kenapa kau juga ikutan bohong, jangan bilang mami ga ngasih uang jajan juga."
Eh,
Bian bahas uang makan sekolah, iya dia emang ga ada bayar, ibu juga ga ada niatan buat bayar, pake apa? daun kering? uang mainan? uang darimana? seragam aja masih lama juga, mau ikutan makan enak disekolah, ya kali dia segila itu. Masalah jajan, ibu juga ga ada ngasih, ibu sendiri yang bilang ga mau ngeluarin selembarpun uang untuk sekolahnya. Terus kenapa Bian sensi gini, dia aja yang uda disiksa, dimaki, dipukuli habis habisan, bahkan pernah ibunya bakar sepatu sekolahnya, sakit banget hati waktu ngeliat kejadiannya, Yaya biasa aja. Masih tetap ngejalani hidup tanpa merasa dendam. Mau marah juga ga ada gunanya. Toh lawannya siapa? ibu tiri yang kejam.
"Tega ya, kau bohong, cuma karna mami,"
Tega? dia siapa mau ngadu ngadu ke Bian? dia bukan siapa siapa, dulu ibunya Bian yang datang ngancurin kehidupan keluarga ibunya, sekarang serasa dia yang ngancurin kehidupan Bian dan ibunya. Kehadiran Bian yang tiba tiba, perhatian cowok itu, semuanya mungkinkah benar benar tulus? kenapa ia merasa ragu, takut menerima uluran tangan cowok itu, apa karena ibunya? semua perilaku ibunya menimbun jauh kebaikan Bian padanya.
"Biar aku yang bicara sama mami, pokoknya jangan lagi bohong bohong gini, mami uda nuduh kau burukin mami ke aku, padahal kau mati matian bohong, demi mami, jahat emang mami!!" Bian membuang wajahnya kearah lain. Yaya menatap wajah cowok itu dari samping. Yaya menarik sudut bibirnya keatas, ia merasa sangat sangat terharu, rasanya Yaya ingin menangis saat ini juga. Dadanya tersentuh banget sama ucapan Bian.
"Pulang sekolah jangan pergi kerja lagi."
Ga mau.
"Pokoknya aku ga mau dengar kau kerja lagi, apa kata orang coba? masa anak sekolah kerja mati matian jadi pengantar makanan.
Office girl Bian. Sorry juga uda bohong.
"Ga bagus, pasti panas, bau, uda ga usa kerja apapun lagi, biar aku yang biayai semua kehidupanmu, masalah mami biar aku yang urus. Ganti bajumu sana, pelajaran uda mau dimulai." Bian berujar dingin, datar.
"Bian," Yaya menahan langkah Bian yang hendak meninggalkannya. Bian membalikan tubuhnya kearah Yaya. Menatapnya dengan kening mengerut, Yaya menarik nafas sedalam dalamnya.
"Ga usa ikut campur sama urusan kehidupanku, makasih uda perhatian, makasih buat seragamnya, makasih juga uda percaya, tapi ga usa bertengkar sama ibu cuma gara gara aku, anggap aja kita ga saling kenal, anggap aja aku ga pernah tinggal serumah samamu, anggap aku ini orang lain, ga usa terlalu baik, nanti aku bisa memanfaatkan mu, aku bisa mengurus diriku sendiri, aku ga mau berhenti kerja. Masalah ibu, beliau baik, perhatian, hanya saja aku belum bisa menerima bahwa aku punya ibu tiri, ga usa ikut campur lagi, aku ga suka." Yaya masuk kedalam ruang ganti, ia sedikit berlari, mungkin kalau dia masih berdiri didepan Bian, air mata yang dia tahan sedari tadi bakalan tumpah didepan Bian. Yaya ga mau hidupnya yang malang membuatnya dikasihani, dan itu ga tulus. Cukup ia saja yang merasakannya, menahan semuanya. Bian dan ibunya ga perlu masuk kedalam lika liku hidupnya yang menyakitkan.
Tangannya membuka pintu salah satu WC yang terbuka pintunya. Yaya masuk kedalam WC itu dengan hati yang terasa amat sakit, dia baru saja menolak seseorang yang peduli akan kehidupan yang ia jalani, ia menyuruh orang itu ga usa ikut campur dalam kehidupannya. Ini menyakitkan. Dadanya benar benar sakit melihat ekspresi wajah Bian yang kaget mendengar ucapannya. Tapi dengan begini, hubungan anak dan ibu kandung itu ga akan pernah hancur. Yaya ga bisa menerima perhatian Bian, kalau ibunya ga suka. Ia akan merasa bersalah setiap harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANGISAN YAYA [COMPLETED]
Teen FictionMengandung banyak bahasa kasar! [ BELIM REVISI ] Yaya gadis kelahiran asli Bandung.18 tahun sudah pengalaman pahit selalu menemaninya. Tak pernah sekalipun ada seseorang yang benar benar tulus mencintainya. "Jalang!" "Anak bodoh!!" "Kau tak pantas...