Yaya mendengus kesal melihat Bian yang masih nungguin dia buat pulang bareng. Dia ga nyangka Bian bakal ngejemput dia ke perpustakaan. Padahal Yaya pergi ga ada pamitan sama sekali, apa lagi sama ibunya, dia ga ada ngomong sama penghuni rumah. Bian yang ngetuk kamarnya aja ga dia respon, enggak boong. Sampe Bian ngilang entah kemana baru dia keluar dari kamar. Lagi eneg liat wajah ibu vs anak kandung itu. Bawaannya berprasangka buruk aja. Buruknya itu, si Bian ada kerja sama ga sama mami nya. Kan dia penasaran, sekaligus benci kalau emang ada. Kalau ya. Kalau.
"Ayo pulang!!"
Uda dibilang pulang aja sendiri.
Yaya ga beranjak juga dari mejanya. Ia menatap kesal kearah meja yang hanya diisi tasnya, Jojo, Chiko, dan si rempong Vivi yang uda pada balik kerumah masing masing. Hanya tinggal dirinya saja, ia tadi uda mau pulang, eh, ketemu Bian. Jadi dia pura pura duduk lama dibangku dia, nungguin Chiko sama Vivi pulang.
"Kenapa kau ga mau nerima ponsel yang kukasih?!" tanya Bian masih mau nungguin dia yang ga tau mau ngapain, cuma ngikat ngikat tali tasnya. Bosan. Kapan saudara TIRI nya ini pergi. Selamanya.
Hp yang dimaksud itu, pas Yaya keluar dari dalam kamar, setelah ibunya pergi, ia keluar dari...kamar. Yaya haus, terus ngambil air ke dapur. Bian ngejutin dia pas pintu kulkas ditutupnya. Terus Bian ngasih dia ponsel, baru Bian bilang baju seragamnya juga uda dilunasi saudaranya itu. Yaya hanya melengos pergi, masuk ke dalam kamarnya lagi. Malas debat, atau sekedar bicara sama Bian. Apa lagi ngingat kejadian pagi tadi, dia sakit hati banget dengar ibunya yang bilang bagus kalau ayahnya sudah mati...kenapa...jadi selama ini ibunya itu menginginkan hal itu sejak ayahnya masih sakit sakitan?
"Kau marah sama mami, atau sama aku? ayo pulang, uda jam 23:45, ga bagus anak cewek masih keluyuran tengah malam gini." Bian narik pergelangan tangannya, yang berada diatas tas, yang sibuk mutar mutar tali tasnya. Yaya menatap tangan Bian dengan hampa. Masam. Kecewa. Sedih. Campur aduk, semuanya karena kekhawatiran sama Bian yang bersikap baik, ini beneran atau sandiwara?
Pulang aja sendiri. Jangan bicara lagi, malas dengernya. Capek tau ga, dibilang penghasut, ngasut apa coba? dia aja mikirin hal negatif, kalau Bian pura pura baik, karna disuruh ibunya.
"Jangan diam aja, aku ga suka."
Maumu apa Bian? bilang!!
"Ayo pulang, uda larut malam. Susah banget dibilangin, Yaya."
Oke pulang. Yaya beranjak dari bangkunya. Ia mengambil tasnya, tapi keburu disandang Bian, Yaya hanya menatap hal itu dengan masam. Bibir lagi kebas ga mau senyum. Bian menarik pergelangan tangannya keluar perpustakaan. Ini nyurik kesempatan ya bang? enak banget ya megang megang. Uda tau mood lagi buruk banget. Pakai acara adegan adegan india aja. Yang Rohul megang tangannya Angel, ngajak ke bukit buat nyanyiin lagu kuche kuche hotahe...is mikir apa coba.
Yaya berhenti didepan mobil Honda Jazz Bian. Cowok itu juga ikutan berhenti. Yaiyalah, kan yang nyuruh dia kemari Bian. Tangannya aja digenggam, biar ga lari cari taksi, uang mah ga ada, takut bener ni orang. Jadi Yaya ngikut aja kemauan saudaranya itu, tapi dengan mulut bungkam. Ga ada niatan buat ngomong. Bian membuka pintu mobil untuk Yaya.
"Masuk."
Yaya secepatnya masuk kedalam mobil, tapi sikap Bian yang megang atas pintu, biar kepala dia ga kejedot, membuat nafas Yaya terhenti. Yaya berdeham pelan, Bian nutup pintu mobil bagian tempat duduk Yaya, memutari mobil, masuk kedalam.
"Pakai sabuk pengaman nya."
Yaya mencari cari sabuk pengaman yang dimaksud cowok itu, Bian menggeleng pelan, karna dia belum juga nemuin sabuk pengaman mobil Bian.
"Disini, biar aku bantu pasang, belum pernah naik mobil ya?"
Lah kok tau? pernah kok naik taksi waktu mau kerumah ngantar barang barang. Tapi Yaya banyak mikir waktu itu, mikir gimana nanti dia kalau enggak sekolah, taunya sampai sekarang masih sekolah, meskipun jadi anak durhaka sama ibunya. Toh sekolah ga salah.
Jarak Bian ke Yaya cuma beberapa senti, dia bisa nyium harum parfume yang dipakai Bian, harum banget coyy, deru nafas Bian juga terasa dibalik telinga dan kulit lehernya, pas Bian narik sabuk pengaman mobil. Yaya menahan nafasnya, ga kuat sedekat ini sama cogan.
"Anak baik, nurut terus, biar tetap manis.." Bian ngacak ngacak rambutnya. Pipi Yaya uda memerah, ia pura pura merapikan rambutnya yang habis diacak acak Bian, menghilangkan kegugupan yang ia ciptakan didalam mobil itu.
"Kalau marah ingat pulang juga. Aku ga suka liat anak cewek masih keluyuran malam malam gini." Bian menyalakan mesin mobil. Yaya ga nanggapi, atau sekedar ngangguk.
"Kalau marah utamakan kesehatan, banyak diluar sana orang jahat, kalau tadi pulang malam, terus naik taksi, dibawa lari gimana? pergi juga ga pamit, kenapa ga bilang mau pergi, biar aku antar?!" Yaya masih bungkam.
"Kalau nanti mami marahin bilang aja, biar aku usir sekalian dari rumah."
Hebat, dia ga ngajarin Bian, ga ada. Bian sendiri tadi yang ngomong.
"Mami itu emang gitu orangnya, gila uang, sampe bisa talak sama papi, ya gitu karna ga sepemikiran, mami pengen hidup enak, ga diatur. Uda ga usa dipikirinlah mami, kalau masih sering dipukul kasih tau aku, jangan ngurung diri kek tadi."
Tanpa sadar Yaya menarik sudut bibirnya keatas. Ini beneran Bian yang ngomong kan? Ga ada kerja sama, atau kerja kelompok bareng ibunya?
"Bikin khawatir aja."
Sekali lagi Yaya hanya bisa menarik sudut bibirnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
TANGISAN YAYA [COMPLETED]
Novela JuvenilMengandung banyak bahasa kasar! [ BELIM REVISI ] Yaya gadis kelahiran asli Bandung.18 tahun sudah pengalaman pahit selalu menemaninya. Tak pernah sekalipun ada seseorang yang benar benar tulus mencintainya. "Jalang!" "Anak bodoh!!" "Kau tak pantas...