"Kenapa kau pergi ga pamit?!! mana seragam barumu? kenapa ga dipakai?!!" Bian langsung bertanya dengan nada lantang didepan meja Yaya. Yaya menghela nafas lelah, ia membuang wajahnya kearah jendela bangku Jojo yang masih belum dihuni pemiliknya. Maklum ini masih jam 6:23, Yaya pergi kesekolah ga pamitan sama orang rumah. Dia masih marah, sakit hati, sama perkataan ibunya. Kenapa ada manusia yang ga berperasaan seperti ibunya itu. Baju seragam yang Bian maksud dia ga pakai, Yaya ga mau ibunya nanyain dari mana uangnya membeli seragam baru, lagian dia ga mau bergantung pada Bian, yang notabenenya anak kandung ibunya. Bisa ajakan, semua kebaikan Bian cuma jebakan. Ga mungkin Bian bisa tiba tiba nerima dia sebagai saudara cowok itu, Bian itu tampan, baik, keren, elegan, Yaya seratus persen ga percaya Bian itu anak yang ramah. Bisa nerima dia gitu aja. Semua ini hanya sandiwara.
"Kalau masih marah ngomong samaku, ga usa diam diaman gini. Harusnya pamit dulu sama mami, ga sopan banget jadi anak cewek. Kau ga ngargai mami?!"
Tuhkan, uda mulai belain ibu. Sedih deh. Ehh?
"Uda besar, bikin pusing orang rumah aja!!! Pikirin juga dong orang rumah jadi khawatir, dikira kau kabur!!"
Khawatir? siapa? ibu? haha ga mungkin lah. Bian pintar banget kalau ngomong mah. Sejak kapan ibunya khawatir? dia pulang jam 1 malam aja ga dimarahi, kalau alasannya kerja. Apa ibu tiri gitu ya? ga punya hati, ga punya perasaan.
"Jawab!!! jangan diam aja, aku lagi ngomong." Bentak Bian, masih berdiri didepan meja Yaya. Yaya mendehem pelan, dia ngangkat wajahnya, natap dalam wajah Bian. Bian juga menatapnya demikian. Yaya segera buang muka kearah lain.
"Liat aku Yaya!!!"
Tangan Bian menangkup dagu Yaya, sehingga terangkat keatas, menatap mata Bian yang berwarna agak kebiruan. Kok dia ga tau ya, cowok itu punya blue eyes. Blesteran?
Yaya menepis tangan Bian dari dagunya, ia membuang muka kearah lain. Yaya mendengar suara nafas Bian yang mendengus.
"Kenapa kau ga pakai seragam sekolah barumu?!"
Yaya ga jawab.
"Takut sama mami?"
Masih diam.
"Yaya, please jangan diamin aku juga, aku ga suka. Kita serumah tapi diam diaman. Kalau masih marah sama sikap mami bilang, biar aku bilangin ke mami jangan pernah mukul Yaya lagi, tapi jangan diam aja, ngomong apa gitu, marah juga ga apa apa." Bian duduk dibangku Rere, didepan mejanya. Ucapan Bian barusan membuat jantung Yaya berdebar debar, ia merasa terharu atas perhatian Bian, ia merasa sangat senang, bahagia, pengen senyum Pepsodent sekarang juga. Tapi ini serius atau hanya sandiwara cinta...yang kek lagunya Nike Ardila, yang liriknya bosan bila itu sifatmu...is kok lari ke bucin sih. Bian itu saudara dia mah, bukan orang lain, jadi ga boleh baper, ga pantas banget.
"Masih ngambek? marah? maki aja aku, maki sepuasnya, kalau ga bisa marah ke mami, tapi jangan diam gini. Aku paling ga suka bujuk cewek, jadi please ngomong sesuatu, apa kek."
Yaya mendehem pelan, menghilangkan rasa senang yang tiba tiba bermunculan entah dari mana, mungkin dari bibir Bian yang merah, lagian uda dua kali Bian memohon padanya. Bolehkah Yaya merasa tersanjung, anak cogan yang bujuk dia, biar ga ngambek. Bian yang bilang tadikan.
"Maaf kalau Yaya sakit hati, mami emang kasar, ga punya hati, aku aja sering disemprot, kalau sering nyebut nyebut papi didepan mami, ngomong dong, aku capek ni dari tadi sendiri ngomong, serasa ngomong sama hantu."
Oh dia hantu? Yaya menatap dingin kearah Bian yang juga menatap matanya dalam.
"Aku tau kok, kau sakit hati banget denger kata kata mami, tapi jangan sama aku juga dong marahnya, masa aku ikutan dihukum mogok bicara. Ngomong apa aja gitu, mau minum ga?" Bian beranjak dari kursi Rere, menunggu jawaban dari mulut Yaya.
Yaya kalau lagi marah, bawaannya diam aja. Malas banget sekedar basa basi, buang buang energi, buang buang tenaga, ga ada gunanya. Apa lagi marahnya dia karna sakit hati, bawaannya pengen diam sepanjang hari, sampe benar benar lupa kejadian semalam.
"Ayo ke kantin, aku tau kau belum makan, pasta yang kubuatin ga hilang dari atas meja, marah boleh, pikiran juga tuh perut, ayo nanti kau sakit." Bian narik pergelangan tangan Yaya. Perhatian banget Bian, bikin gemes aja.
Yaya ikutan berdiri, karena tarikan tangan Bian jauh lebih kuat, dari berat badannya yang 50 kg, tingginya 165cm. Mungkin Yaya lebih masuk julukan gadis cungkring. Tulang hidup, apa lagi yang lebih menyakitkan?
"Nurut ginikan bikin aku pengen nyubit tuh pipi."
Silakan mas, noh gratis kok.
Yaya mengikuti langkah Bian keluar kelas, Yaya ga tau mau kemana, tapi tadi Bian ngajak makan ke kantin. Mungkin aja ke kantin. Ga ke atap, nyatain cinta. Lah?
Bian masih menggenggam erat pergelangan tangan Yaya, Yaya merasa canggung, rasa hangat yang berasal dari genggaman Bian membuatnya merasa dag dig dug. Jantungnya berdenyut ga beraturan, mungkinkah dia...
"Hyy Jo!" Sapa Bian, Yaya memandang kearah cowok yang berjalan didepan mereka beberapa senti, Jojo teman satu kelompok Yaya. Jojo menarik sudut bibirnya keatas.
"Ke kantin bareng yuk!!" Ajak Bian, ga tau sekedar basa basi aja. Atau emang ada niat ngajak tetangga mereka itu. Semoga basa basi doang.
"Ga." Jawab Jojo dingin melangkah ke dalam kelas. Jojo menatap sekilas kearahnya yang juga natap cowok itu. Bian keburu narik tangan Yaya melanjutkan rencana awal cowok itu. Bukan ke atap. Yaya masih sempat melirik punggung Jojo yang hampir menghilang masuk ke dalam kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANGISAN YAYA [COMPLETED]
Teen FictionMengandung banyak bahasa kasar! [ BELIM REVISI ] Yaya gadis kelahiran asli Bandung.18 tahun sudah pengalaman pahit selalu menemaninya. Tak pernah sekalipun ada seseorang yang benar benar tulus mencintainya. "Jalang!" "Anak bodoh!!" "Kau tak pantas...