Brother Konflik 011

1.5K 94 12
                                    

"Semua hal itu ada jangka waktunya, termasuk kita. Kamu apa kabar? Sekarang, kita asing... ya."

********

Setelah menerima pesan singkat dari Zavian, segera Antarez berangkat menuju bar yang letaknya tak jauh dari balai kota. Di salam sana, netra matanya bertemu dengan punggung seseorang yang mengenakan jaket geng yang sama dengan dirinya. Logo macan bertuliskan LEOPARD, sudah cukup bagi Antarez untuk mengenali siapa dia.

"Cepet juga lo sampai," ujar Antarez membuat pandangan pemuda yang semula menunduk kini terangkat, melihat dirinya yang mengambil duduk di kursi kosong depan anak itu.

"Kebetulan gue lagi ada urusan deket sini tadi, jadi tinggal sebrang aja," balas Zavian lalu meneguk segelas wine yang sudah ia pesan.

"So, lo beneran butuh barang itu? Gue udah amanin buat lo," ucapnya, dan mendapat anggukan kepala dari Antarez seolah-olah sudah paham mengenai 'barang' yang Zavian maksud.

"Ya, gue butuh," jawab Antarez, "dan ada satu hal lagi yang mau gue minta tolong ke lo," sambungnya membuat kening Zavian berkerut karena penasaran.

"Apa?" seorang pelayan datang ke meja mereka membawakan segelas wine lagi pesanan Zavian, menaruhnya di atas meja lalu berjalan pergi. Ia mendorong gelas kaca tersebut kepada Antarez, ia sengaja memesankan minuman beralkohol itu untuknya.

"Bantu gue keluar dari kota ini," ujar Antarez sontak membuat Zavian terkejut. 

"Tunggu, maksud lo?" balasnya memastikan pendengarannya tidak salah, dia pasti bercanda kan? Kabur dari kota, memang apa yang Antarez rencanakan dan apa alasannya?

"Gue mau keluar dari kota ini, gue mau pergi jauh mengasingkan diri," ujar Antarez menegaskan kembali.

"Tapi Rez, kenapa? Lo mau pergi ninggalin LEOPARD? Lo mau pergi ninggalin kita semua?" 

"Kalau lo ada di posisi gue, gue yakin lo pasti paham Zav. Sayangnya, lo hanya temen baik gue," balas Antarez lalu menatap ke arah minuman keras beraroma pekat itu, sorot matanya berubah menjadi sendu. "Seandainya bunuh diri diperbolehkan, dari dulu gue sudah pergi dari dunia ini, dan nggak perlu kabur dari kota," gumamnya selirih mungkin hingga Zavian tak bisa mendengarnya.

Menyadari perubahan ekspresi wajah Antarez, Zavian pun menghela napas panjang. "Oke, gue bantu lo, tapi jelasin dulu sama gue apa rencana lo."

"Sebelum gue jelasin, gue mau kasih tahu ke lo apa alasan gue cari donor jantung. Dulu lo sempet bilang ke gue kalau Antariksa setiap hari Jumat selalu nggak masuk sekolah kan, sekarang gue tahu alasannya."

"Apa?" balas Zavian menjadi penasaran.

"Dia sakit."

"Sakit?"

"Iya, dia mengidap penyakit jantung bawaan dari kecil, dan sayangnya gue baru tahu akhir-akhir ini. Ck, gue juga kesel, kenapa orang tua gue bisa sembunyikan hal sepenting ini dari gue. Kalau tahu seperti ini, gue pasti...." jeda Antarez mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Gue pasti akan berusaha lindungi dia, dan mencoba menyayangi dia meskipun hati gue sakit," batin Antarez.

Andai, andai Antarez bisa mengetahui berita ini dari awal. Dia pasti akan berusaha menyayangi adiknya, memperlakukan dia sebagaimana saudara, sebisa mungkin tidak membentak ataupun sampai memukul Antariksa.

Antarez tahu sakit itu seperti apa, bahkan Antarez sudah berteman baik dengan lukanya. Melihat Antariksa rapuh karena harus melawan penyakitnya itu, rasanya Antarez seperti melihat dirinya sendiri. Bagaimanapun juga mereka adalah saudara, dan sebagai kakak Antarez menginginkan yang terbaik untuk adiknya. 

Lagipula, mereka tidak akan menjadi seasing ini, apabila Nyonya Mawar dan Tuan Agral mau mengatakan yang sejujurnya, serta bersikap adil kepada mereka. Antarez dan Antariksa hanyalah korban.

"Tanggal dua puluh delapan nanti dia bakal menjalankan operasi terakhir, dan disitulah gue butuh donor jantung dari lo. Setelah selesai, gue bakal berpura-pura kalau gue yang donorin jantung gue buat Antariksa, semua orang pasti mengira gue sudah meninggal, dan itu menjadi kesempatan gue untuk pergi dari kota ini," ujar Antarez menjelaskan rencananya.

"Lo yakin rencana lo bakalan berhasil? Lo sudah mikirin ini matang-matang kan?" balas Zavian memastikan.

"Ya, gue sudah mempertimbangkan ini semua," respon Antarez serius.

Beberapa hari kemudian, akhirnya tanggal dimana Antariksa akan menjalankan operasi terakhirnya pun tiba. Antarez bersama Zavian menjalankan misi mereka sesuai rencana, dan syukurlah semuanya berjalan dengan lancar.

Sampai, setelah Antariksa berhasil menjalankan operasinya dan dikatakan selamat, dirinya harus koma terlebih dahulu selama beberapa hari di rumah sakit, dan di saat itulah Antarez datang sebentar ke kamar pasien sang adik untuk menemui saudara kembarnya itu yang terakhir kalinya sebelum pergi jauh.

Antarez datang dengan pakaian menyamar seperti petugas rumah sakit, agar tidak ada seorang pun yang mencurigai keberadaan laki-laki tersebut. Dengan wajah yang memakai masker, kakinya melangkah masuk ke dalam ruang pasien 019.

Suasananya sangat tenang, Antarez menyaksikan tubuh Antariksa yang terbaring di atas ranjang. Perlahan, ia mengambil langkah mendekat dan berdiri di samping brankar pasien. 

Ia mengamati wajah itu baik-baik, rupa yang begitu mirip dengan dirinya. "Sudah lama, semenjak sembilan tahun yang lalu, gue belum pernah melihat wajah lo sedekat sekarang," ujar Antarez tersenyum.

"Hi Sa, gimana kabar lo? Gue senang lo selamat, gue harap lo bisa hidup lebih baik sekarang." Antarez tidak tahu, apakah adiknya itu bisa mendengar suaranya atau tidak, ia tidak perduli, karena yang Antarez mau saat ini adalah biarlah diwaktu yang singkat ini, dia ingin benar-benar menjadi sesosok kakak. Antarez ingin bersikap seperti saudara, sama ketika mereka masih berumur sembilan tahun.

Tangannya sempat ragu ketika hendak membelai rambut anak itu, namun dengan segera ia membuang segala perasaan buruk  dan mendaratkan telapak tangannya di atas kepala Antariksa. Hangat, masih sama seperti sembilan tahun kala itu, "dulu, sebelum tidur lo selalu minta gue belai kepala lo, apa lo masih ingat?" tanya Antarez menggosokkan jari-jarinya pada sela-sela rambut Antariksa.

Semakin lama, Antarez semakin teringat akan masa kecilnya. Tentang masa-masa dimana mereka berdua masih bisa tertawa bersama, dan menghabiskan waktu, sebelum semuanya menjadi awan mendung tak berujung. "Dulu kita nggak seasing sekarang Sa, panggilan abang dari lo masih menjadi bagian favorit gue hingga sekarang, walaupun kadang gue sulit mengakuinya."

Antarez menarik kembali tangannya menjauh dari kepala Antariksa, "tapi sebentar lagi gue bakal pergi jauh, dan lo nggak bakal ketemu gue lagi."

"Gue mau lo hidup bahagia Sa, dengan adanya gue di sisi lo hanya akan membuat lo dalam bahaya. Tapi tenang, meskipun gue nggak ada di samping lo, gue akan tetap menjaga lo dari jauh," pungkas Antarez lalu mendekatkan wajahnya pada telinga Antariksa lalu berbisik.

"Gue pamit dulu, cepet bangun ya, ada banyak kebahagiaan yang harus lo sambut. Masa depan lo harus cerah, nggak masalah masa depan gue berantakan asalkan lo bahagia," bisik Antarez dan kembali menegakkan tubuhnya, ia tersenyum simpul sebelum berbalik badan dan pergi keluar dari kamar pasien.

"Bye Sa."

BROTHER KONFLIK [S1&S2] segera terbit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang