Brother Konflik 028

1.1K 72 8
                                    

"Manusia adalah sumber dari segala luka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Manusia adalah sumber dari segala luka. Tapi sekali disakiti, ia merasa seolah-olah menjadi makhluk paling menyedihkan di dunia."

-Genandra Aksa Kasela-

********

GENANDRA POV

Bola basket itu indah, ya, melihat ia melambung tinggi di udara dan masuk ke dalam ring. Sorakan itu... semua sorakan bangga yang ditujukan untuk ku. Tapi, ada satu sudut yang tetap saja diam membisu, ketika semua orang meneriakkan nama ku.

Tatapannya masih saja dingin tanpa ekspresi, Mama... aku ingin mendengar suara mu.

"Mama! Tim Genan menang Ma!" gembira Genandra menunjukkan medali perak yang menggantung bangga di lehernya, dengan senyuman merekah ia siap mendengar ribuan pujian dari wanita itu.

Nyonya Laras tetap diam tak bersuara sembari sibuk memotong bawang, tak perduli dengan keberadaan Genandra yang berdiri di dekatnya. Senyuman yang semula ceria itu perlahan mulai kehilangan warnanya, "Ma, lihat Genandra Ma," pinta Genandra lemas.

Lirikan dingin yang sekilas semakin menenggelamkan harapan Genandra, kepalanya yang tadinya mengangkat bangga sekarang menunduk tanpa semangat. "Bagus, pergilah ke kamar dan ganti baju," balas Nyonya Laras tetap melanjutkan aktivitasnya, seolah tak mau menerima maksud yang putranya itu berikan.

Tangan Genandra mengepal kuat, "apa Mama tidak mau mengapresiasi medali sampah ini Ma?" tanya Genandra menggenggam medali perak yang berhasil ia dapatkan dengan susah payah.

"Hm, warna perak terlalu redup tak seperti emas Genan. Medali hanya satu, berwarna emas, sisanya hanya pajangan apresiasi. Juara cuman ada satu, dan kau tahu itu," balas Nyonya Laras lalu berjalan menghampiri Genandra.

"Kalau kau mau mendapatkan pujian ku, maka raihlah juara pertama, naik ke atas podium paling tinggi. Sehingga saya bisa melihat anak ku dengan jelas, dan mereka semua berada di bawah," pungkasnya. "Saya dengar tim Arka yang mendapatkan juara pertama, orang tua dia pasti bangga."

Sama seperti dihujam ribuan jarum, hati Genandra benar-benar sakit. "Apa... jika di pertandingan berikutnya aku juara satu, perhatian Mama hanya untuk Genan?"

"Pujian Mama, mata Mama, hanya untuk Genan?"

Nyonya Laras mengangguk, "tentu, jika kau berhasil, pujian bentuk apapun akan saya berikan."

Bibir yang semula keluh, perlahan berusaha tersenyum. "Kalau begitu, nanti Genan akan kembali membawa medali emas yang Mama mau."

Suara ku jarang di dengar, kecuali aku menunjukkan sesuatu yang ia inginkan. Aku hidup seperti malam, mau sekeras apapun aku berusaha di hadapan dia, yang ia lihat hanyalah bintang dan bulan.

Aku akui, aku haus akan pujian, aku haus perhatiannya, aku haus kasih sayangnya. Namun, itu semua pasti akan aku dapatkan jika aku pulang membawa yang dia minta.

Diriku benci, ketika matanya selalu melihat kepada orang lain, bibirnya selalu menyebut nama orang lain. "Genan di sini Ma, tolong lihat aku."

Dia yang membuat ku mencintai bola basket, tapi ia juga yang membuat ku perlahan membencinya.

Sebuah pertandingan yang sangat diriku nantikan dan sangat siap untuk tim ku menangkan. Menjadi bumerang terbesar, ketika perasaan serta ekspektasi ku dihancurkan pada saat yang bersamaan.

"Damn, engkel kaki lo terluka Gen, lo nggak bisa ikut tanding," khawatir teman satu tim Genandra.

"Nggak, gue tetep harus ikut tanding," balas Genandra keras kepala.

"Genandra, saya sarankan kamu tidak perlu ikut tanding nak. Kalau tetap dipaksa bisa-bisa engkel kaki mu patah," tutur coach.

"Tapi coach, saya ingin tetap ikut tanding. Saya ingin memenangkan pertandingan ini bersama tim," Genandra tetap bersikukuh, ia harus tetap bermain. Dia ingin membuktikan kepada Nyonya Laras jika ia bisa membawa pulang medali emas itu, ia bisa berdiri di podium pertama.

"Tolong, tolong izinkan saya tetap ikut bertanding couch. Saya siap jika resikonya nanti saya tidak bisa bermain basket lagi selamanya, oleh karena itu, saya mau bermain jika ini memang yang terakhir kalinya untuk saya," pinta Genandra, pria itu tidak tahu lagi bagaimana cara menyadarkannya. Ini terlalu beresiko.

"Baiklah, jika memang ini mau kamu," balas couch memberi izin.

"Terima kasih couch!" senang Genandra tersenyum gembira, lalu kepalanya menoleh ke arah tribun penonton. Sorot matanya tertuju kepada seorang wanita yang tengah duduk di sana, tatapannya masih saja dingin seperti biasa.

"Aku akan membuat dia tersenyum, lihat Genan Ma," batin Genandra.

Pertandingan kembali dimulai, namun sayangnya performa Genandra tak sebaik sebelumnya. Ia harus menahan sakit yang sangat pada kaki kirinya, beberapa kali Genandra hendak terjatuh sambil menggigit bibirnya. Dia tidak boleh lemah, jika lumpuh, lumpuh saja sekalian, asalkan malam ini ia bisa membawa medali itu pulang.

Skor demi skor kembali tercetak, sayangnya tim Genandra semakin jauh dari kata kemenangan. Luka di kakinya membuat performa tim mereka memburuk, rasa ketakutan akan kekalahan semakin menyelimuti diri Genandra. Sekilas, matanya melirik kepada Nyonya Laras yang memandangnya tajam.

Sampai, peluit panjang wasit berbunyi sebagai tanda jika pertandingan sudah berakhir. Dan, sekaligus menjadi kehancuran terbesar bagi Genandra. Kepalanya menunduk kalah, memandang kaki kirinya yang semakin sakit karena terlalu dipaksa. "Padahal gue sudah berjuang keras, tapi kenapa seolah-olah usaha gue masih kurang?" gumam Genandra tersenyum kecut.

Ketika ia menoleh ke arah tribun penonton, Nyonya Laras sudah tidak ada di sana. "Maafin Genan Ma," batin Genandra merasa bersalah, padahal dirinya telah berjanji membawa medali itu pulang. Namun nyatanya, malah luka yang sama di tempat yang sama pula.

Setelah menerima medali perak dan sesi foto bersama selesai, Genandra menemui Nyonya Laras yang berada di depan gedung. Wanita itu terlihat sibuk berkutik dengan benda pipih di tangannya, sehingga tak menyadari bahwa Genandra sudah ada di hadapannya sekarang.

"Ma," panggil Genandra membuat jari yang semula mengetik itu berhenti.

"Genan.... Genan minta maaf," ujar Genandra merasa bersalah.

"Maaf, aku nggak bisa bawa pu-"

"Untuk apa kau minta maaf?" potong Nyonya Laras. "Tidak mampu menepati janji yang kau sumpah dengan mulut mu sendiri, tidak ada gunanya meminta maaf."

"Relakan saja kedua kaki mu itu jika memang saatnya lumpuh, seharusnya kau bersyukur dengan ginjal yang ada di tubuh mu sekarang. Karena, tanpa benda itu kau sudah meninggal dari dulu," pungkas Nyonya Laras bagaikan petir yang menyambar Genandra.

Benar, salah satu ginjal yang berada dalam tubuh Genandra ialah milik Mamanya. Nyonya Laras mendonorkan salah satu ginjalnya demi keselamatan Genandra. Oleh sebab itulah, Genandra ingin mengorbankan apapun demi Nyonya Laras, sekaligus juga untuk membalas pengorbanan dan rasa bersalah dia.

"Maafkan, Genandra... Ma."

BROTHER KONFLIK [S1&S2] segera terbit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang