"Rasa sakit mengajarkan kita dewasa, tapi tidak bagi si pemberi luka."
-Antariksa Gifar Kasela-
********
Di kelas dua belas MIPA 1.
Ternyata, Antariksa sudah kembali terlebih dahulu ke kelasnya. Anak itu duduk di bangku kedua dekat jendela, tatapannya terlihat melamun sembari memandang hamparan langit biru. Dirinya dibuat kembali teringat akan perkataan Garuda, kata-katanya seolah-olah terekam seperti radio.
"Cih!" decak nya mengepal kuat, ia masih tidak terima dengan perkataan Garuda yang menyayangkan, kalau Antarez harus memiliki saudara lemah seperti dirinya. "Lo paham apa tentang gue dan dia?" gumam Antariksa terdengar tajam.
"Pembuktian macam apa yang mesti gue kasih tunjuk ke lo, Garuda? Agar lo percaya, bahwa gue pantas mendapatkan benda berharga ini," sambungnya seraya mencengkram dada. Kepergian Antarez sepenuhnya bukanlah kesalahan dirinya, namun kenapa semua orang seakan-akan buta dan tidak mau menerima kenyataan? Dan menganggap, bahwa Antariksa lah penyebab ini semua.
Ekor matanya dibuat tertarik ke arah pintu kelas, pada saat tiga remaja laki-laki memasuki ruangan. Antariksa menghela napas, ketika pandangannya tertuju kepada pemuda yang sekarang menjadi Kakak tirinya itu. "Genandra," sebutnya lirih, tersirat keraguan bercampur sedih.
Apakah setimpal, kepergian Antarez digantikan oleh kedatangan Genandra? Meskipun mereka bukan saudara kandung, Antariksa bisa mengakui kalau Genandra dapat memperlakukan dirinya dengan baik, dianggap seperti seorang Adik yang dimana dahulu sempat tidak pernah ia rasakan ketika bersama Antarez. Tapi, walaupun begitu pada akhirnya hatinya tetap saja merindukan sosok Kakak kandungnya.
"Sa, lo kenapa ngelamun?" tanya Genandra sembari melambai-lambaikan tangannya di depan wajah anak tersebut.
"Eh, Bang Genan, nggak ada kok," balas Antariksa baru sadar, kalau Genandra bersama kedua sahabatnya sudah berada di depannya sekarang.
"Lo masih syok ya Sa? Gara-gara kacang Garuda itu? Emang kampret sih, mana jago lagi," sahut Hans lalu mengalihkan perhatiannya kepada Bams. "Ini semua gara-gara lo! Malu-maluin gue di depan kacang tanah itu, lain kali kalau nggak bisa bela itu diem aja."
"Lah salah gue apa? Gue kan ngomong jujur, kali aja si Garuda jadi takut," balas Bams, rasanya ingin sekali Hans membakar tubuh temannya itu hidup-hidup.
"Dia bukannya takut tapi malah ngakak! Aduh Sa, beli otak pinter buat temen lo yang bego ini dimana sih? 1M gue ladenin," frustasinya tak tahan.
"Di pasar banyak yang jualan nggak sih? Otak-otak ikan kan?" celetuk Genandra reflek membuat Hans menggigit kerah bajunya.
"Subhanallah, kenapa hamba dikelilingi makhluk seperti mereka ini ya Allah," lelah Hans mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi seperti orang berdoa, ia tak tahu lagi usaha apa yang mesti ia lakukan selain keajaiban dari sang pencipta.
"Makhluk? Gue manusia Hans, bukan makhluk," polos Bams masih belum paham dengan kata-kata temannya.
"MANUSIA SAMA MAKHLUK APA BEDANYA ANYING! JIN LO?"
"Udahlah, resign gue dari MIPA, besok gue mau pindah jadi anak IPS aja," Hans mengibarkan bendera putih, lalu berbalik badan dan kembali duduk di bangkunya. Melihat sahabatnya seperti itu, Bams pun ikut bergabung bersama anak tersebut. Sedangkan Genandra, ia duduk di samping Antariksa.
"Sa!" panggil Genandra sebab sedari tadi anak itu hanya mendiamkan dirinya.
"Hm?" deham Antariksa membolak-balikkan halaman catatan kimianya, dan melanjutkan menulis rangkuman materi Minggu kemarin.
"Lo kok diem aja sih? Gue salah apa?" melihat wajah Adiknya sedingin itu benar-benar membuat Genandra over thinking, dia tidak mau membuat Antariksa marah bahkan berusaha tidak membuat masalah dengannya. Bagi Genandra, Antariksa adalah saudara yang berharga walaupun tidak sedarah.
Apakah dia marah karena dirinya datang terlambat? Ataukah, karena ia tidak sempat membantu anak itu pada saat bersama Garuda? Dua pertanyaan itu terus saja berulang-ulang dalam otak Genandra seperti komedi putar.
"Mana motor lo? Di parkiran?" tanya Antariksa dengan pandangan yang masih fokus kepada buku catatannya, Genandra menggeleng sebagai jawaban tidak.
"Nggak, motor gue lagi ada di bengkel sekarang," balas Genandra.
"Ini udah yang ke berapa kalinya motor lo masuk bengkel, terus, tadi ke sekolah naik apa?"
"Ojek," Antariksa menganggukkan kepalanya beberapa kali dan menutup buku catatannya itu. "Lain kali hati-hati ya Bang, motor rusak bisa diperbaiki, nyawa hilang nggak bisa diganti," nasihat Antariksa dan mendapat senyuman lebar dari Genandra.
"Siap!" balas Genandra duduk tegap sambil memberikan hormat kepada Antariksa, menyaksikan hal itu dia tertawa kecil.
"Oh ya Sa, ada yang mau gue tanyain ke lo. Foto yang gue kirim tadi, itu bukan lo kan?" ucap Genandra kembali membahas soal sesosok remaja yang sempat dirinya sangka kalau itu adalah Antariksa.
"Bukan, itu bukan gue, sejak kapan gue punya tato?" jawab Antariksa, kalau dipikir-pikir lagi itu benar, kedua lengan Antariksa bersih tidak ada coretan tato sedikitpun.
"Lagipula Abang ambil foto itu darimana?"
"Di perempatan balai kota, kebetulan di sana ada bengkel makanya gue berhenti dulu mau benerin ban motor gue, terus nggak sengaja lihat anak itu di sana," cerita Genandra. "Awalnya gue kira itu lo, makanya gue foto."
"Tapi Sa, dari belakang gue ngira itu beneran lo karena emang mirip."
"Hmm," deham Antariksa sambil memegang dagu, berusaha mencerna cerita dari Genandra baik-baik. "Wajahnya kelihatan nggak?"
"Nggak, dia pake helm," balas Genandra.
Antariksa sedikit kecewa, coba saja Genandra tahu bagaimana rupa laki-laki itu. Dirinya sempat memikirkan sesuatu yang menggelitik rasa penasarannya, namun ia berusaha menahan dan menghempaskan prasangka itu jauh-jauh.
"Mungkin cuman perasaan Bang Genan aja, namanya juga punggung nggak heran kalau ada yang sama," ujar Antariksa.
"Iya kah? Tapi kok gue rasa beda ya," sanggah Genandra tidak sependapat.
"Haha, emang lo kira apa Bang? Kembaran gue yang lain? Kembaran gue cuman Bang Antarez doang dan sekarang udah pergi, masa iya dia hidup lagi," jawab Antariksa tertawa kecil.
"Ya kan gue cuman tebak doang," balas Genandra mengangkat kedua bahunya. Perlahan tawa Antariksa mulai mengecil dan mengecil sampai akhirnya berhenti.
"Bang Antarez... hidup lagi?" gumamnya menjadi sedih.
********
Di belakang dinding kelas, Garuda melihat Zavian berdiri di sana dan masih mengobrol dengan seseorang dari handphone nya. "Belum selesai? Ini sudah lima belas menit, ngobrol apa aja dia," heran Garuda berencana menghampiri anak tersebut.
Nampaknya, Zavian menyadari kedatangan seseorang dari arah belakang, dia menutup panggilan telepon itu dan menyimpan handphonenya dalam saku celana. "Sadar lo," sinis Garuda menyaksikan Zavian berbalik badan menghadap dirinya.
"Hm, ada apa?" balas Zavian dengan ekspresi datar.
"Lagi telponan sama siapa, lama bener? Sama cewek lo?"
"Nggak ada," jawabnya berjalan beberapa langkah menghampiri Garuda. "Ayo balik ke kelas," sambung Zavian menepuk pundak Garuda, lalu berjalan mendahului laki-laki tersebut. Menyisakan punggung dirinya yang semakin menjauh, yang masih menyisakan tanda tanya besar untuk Garuda.
KAMU SEDANG MEMBACA
BROTHER KONFLIK [S1&S2] segera terbit
Dla nastolatków[Tahap revisi] "𝚃𝚎𝚛𝚕𝚊𝚑𝚒𝚛 𝚜𝚎𝚋𝚊𝚐𝚊𝚒 𝚜𝚊𝚞𝚍𝚊𝚛𝚊, 𝚝𝚞𝚖𝚋𝚞𝚑 𝚜𝚎𝚋𝚊𝚐𝚊𝚒 𝚖𝚞𝚜𝚞𝚑." 𝙰𝚗𝚝𝚊𝚛𝚎𝚣_𝙰𝚗𝚝𝚊𝚛𝚒𝚔𝚜𝚊. Antarez dan Antariksa sepasang anak laki-laki kembar yang terpaksa terpisah sebab perceraian kedua orangtuany...