BROTHER KONFLIK 01

1.3K 67 0
                                    

"Luka yang paling berat adalah ketika dia tak mampu merasakan rasa sakit lagi, dan terbiasa dengan luka itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Luka yang paling berat adalah ketika dia tak mampu merasakan rasa sakit lagi, dan terbiasa dengan luka itu."

-Antarez Putra Kasela-

********

Antariksa terus saja memandangi foto tersebut, hingga tepukan pundak dari Bams membuyarkan lamunannya. "Sa, balik ke kelas yuk!" ajak laki-laki itu, dengan wajah bingung Antariksa mengangguki ajakan anak tersebut. Mereka bertiga memutuskan pergi ke kelas, namun isi pikiran Antariksa masih saja terbayang dengan sebuah foto yang Genandra kirimkan kepada dirinya.

Dalam perjalanan kembali ke kelas, untuk menyingkat waktu mereka memilih jalan alternatif dengan melewati kelas dua belas MIPA 5 samping lab kimia. Semuanya berjalan baik-baik saja, hingga ada salah satu anak bersama kedua temannya dengan sengaja menabrak bahu Antariksa.

Bugh!

"Bangsat, kalau jalan lihat-lihat dong!" marah Hans memegang tangan Antariksa, dia hampir saja terjatuh karenanya.

Ketiga siswa itu berbalik badan, menghadap ke arah Antariksa dan kawan-kawan. Guratan senyuman smirk nampak begitu jelas, terutama pada Radja—cowok yang sudah menabrak Antariksa barusan. "Sorry, gue kira kosong tadi," ujar Radja melipat kedua tangannya di depan dada.

"Bangsat, maju lo anj-" geram Bams mengambil beberapa langkah sembari mengepalkan tangannya, berniat untuk memukul wajah anak tersebut. Namun, dengan sigap Antariksa langsung menahannya.

"Udah Bams, biarin," ucap Antariksa memegang tangan Bams, dan perlahan menurunkannya. Tidak ada gunanya juga meladeni anak seperti mereka, sebab semakin dilawan mereka akan semakin senang. "Kita balik ke kelas sekarang," sambungnya memutar tubuhnya empat puluh lima derajat.

"Woy cacat!" sarkas Radja sukses membuat Antariksa mematung, ekspresi wajahnya yang semula tenang kini berubah menjadi tajam, rahang laki-laki itu mengeras.

"Siapa yang lo panggil cacat barusan?" tanya Antariksa dengan suara bariton.

Radja berjalan beberapa langkah menghampiri Antariksa, disertai senyuman menjengkelkan yang masih saja tersemat di bibirnya. Ia mendekati wajah anak itu lalu berbisik di telinganya, "ya lo lah, ca-cat," bisik Radja dan kembali menjauhkan wajahnya dari samping kepala Antariksa.

"Antariksa, cowok yang berhasil selamat dari penyakitnya karena sebuah jantung yang didonorkan oleh Antarez untuk adiknya. Lo hidup karena pertolongan orang lain, jantung yang berdetak di dada lo itu bukan milik lo. Apa itu namanya kalau bukan cacat?" sarkas Radja dan mendengar kedua temannya tertawa terbahak-bahak.

Kepala Antariksa tertunduk, sembari meremas kuat dadanya itu. Tidak, ini pemberian dari kakaknya, tidak boleh ada seorangpun yang berhak menghinanya terutama Radja. 

Emosi Antariksa tersulut, mencengkram kuat kerah baju Radja disertai napas memburu. Dia menariknya mendekat, membuat jarak wajah mereka hanya tersisa beberapa senti saja. "Tarik ucapan lo barusan," kecam Antariksa, Radja cukup dibuat terkejut dengan sikap beraninya, ia pikir anak itu tidak akan perduli dan berjalan pergi begitu saja.

"Kenapa? Apa julukan yang gue kasih terlalu fakta untuk lo?" balas Radja lalu melepaskan cengkraman Antariksa dari kerah bajunya, ia menepuk-nepuk kain seragam tersebut untuk menghilangkan bekas kusut.

"Sa, Sa, lo itu lucu tahu nggak," sinis Radja tertawa kecil. "Seandainya gue Antarez, gue nggak bakalan sudi mendonorkan jantung gue ke saudara macam lo, gue lebih memilih hidup daripada harus mati buat menolong orang yang nggak berguna sama sekali," pungkas Radja mendorong dada Antariksa, menggunakan jari telunjuknya.

"Kenapa? Lo mau pukul gue? Sini pukul!" tantangnya menepuk-nepuk pipi kirinya di hadapan Antariksa. "Lo bukan Antarez, jadi gue nggak ada alasan harus takut sama lo, karena dimata gue... lo tidak lebih dari cowok pengecut."

"Bajingan! Lo bisa berhenti nggak!" marah Bams ingin sekali memukul Radja. 

"Lihat, teman-teman lo sama cemen nya macam lo. Kalian cuman bisa menggertak, tapi nggak berani bertindak," remeh Radja, bagi SMA Darmawangsa, Radja adalah salah satu maha karya terpenting untuk sekolah. Dia sudah banyak sekali menyumbangkan prestasi serta mengharumkan nama sekolah, itu sebabnya lah anak itu tidak takut berbuat masalah, toh guru-guru juga tidak akan menghukumnya.

"Cih bangsat, andai guru-guru nggak berpihak ke lo, gue habisi lo sekarang," sahut Hans geram, mengingat peraturan sekolah yang kurang adil dan lebih berpihak pada sebagian murid.

"Makanya, yang suruh jadi bodoh siapa?" tawa Radja memandang rendah mereka bertiga.

"Poor Antarez, dia merelakan jantungnya demi adiknya yang lemah, bahkan ketika saudara lo sudah pergi jauh pun lo tetap nggak bisa melakukan apa-apa," Radja memutar badan dan berjalan menjauh bersama kedua temannya, kepergian laki-laki itu menyisakan rasa sakit begitu dalam pada diri Antariksa.

"Cih," decak Antariksa menggigit bibirnya kuat-kuat sampai berdarah. Terkadang, manusia itu pandai bicara layaknya melempar batu ke dalam jurang, tapi sayangnya mereka tidak perduli seberapa jauh batu itu jatuh.

"Tapi gue rasa lo lebih menyedihkan daripada dia," sahut Garuda bersama Zavian di sisinya. Tatapan keduanya sama-sama dingin, memancarkan aura yang berbeda ketika mendatangi ke-enam anak tersebut.

Sekarang, tampilan Garuda telah berubah seratus delapan puluh derajat sejak kepergian Antarez. Dirinya yang semula selalu berpenampilan rapih, dan jarang membuat onar, sekarang namanya menjadi panggilan favorit guru BK. Tidak mengenakan dasi, dua kancing atas terbuka, itulah ciri khas seorang Garuda Aditama saat ini. 

"Jangan mentang-mentang lo pintar, lo bisa berlaku seenaknya di sekolah, mau gue habisi lo sekarang?" ujar Garuda berdiri di hadapan Radja, seakan-akan memberikan sebuah peringatan keras kepada anak tersebut.

"Gue sama sekali nggak keberatan, sekolah harus kehilangan satu murid pinter tapi songong macam lo," sambungnya menyunggingkan sudut bibirnya. 

Tak banyak yang bisa Radja lakukan, selain membalas tatapan Garuda sama tajamnya. Ia malas beradu argumen dan mencari masalah dengan cowok red flag seperti dia, sebab sekarang Radja paham, anak itu bukanlah Garuda yang sama seperti dulu.

Pandangan Garuda yang semula tertuju kepada Radja, sekarang beralih ke arah Antariksa. "Gue benci wajah itu," gumam Garuda mendapati wajah Antariksa yang begitu mirip dengan sahabatnya. Setiap kali ia memandangnya, Garuda selalu dibuat kembali teringat akan Antarez.

"Dia barusan menghina lo dan Abang lo, apa lo cuman bisa diem aja?" tanya Garuda memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, andai dia Antarez pasti melakukan sesuatu.

"Gu.. gue," gugup Antariksa mengepalkan tangannya kuat-kuat, Garuda bisa melihat tubuh anak itu gemetar. Apa memang nyali Antariksa seciut ini? Mereka kembar bukan? Lantas kenapa Antarez jauh lebih berani daripada dia.

"Gue apa?" sinis Garuda berjalan beberapa langkah menghampiri Antariksa. "Gue yakin, lo pasti ingin pukul dia kan? Dia sudah hina lo dan Antarez, lo harus lakukan sesuatu," bisik Garuda kepada telinga kiri Antariksa.

Menyaksikan tubuh Antariksa mulai tenang, Garuda menarik kembali wajahnya dari samping kepala anak itu. "Jadi lo paham maksud gue," Garuda memberikan isyarat kepada Zavian, dan dengan lekas laki-laki itu berdiri di belakang tubuh Radja.

"Gue mau lo pukul dia, menggunakan tangan lo sendiri," titah Garuda dingin, sukses membuat mereka semua terkejut terkecuali Zavian. Baru kali ini, Antariksa diminta untuk memukul orang lain yang dimana sebelumnya dia tidak pernah melakukannya sama sekali.

"Lakukan, kalau lo memang perduli kepada Antarez."

BROTHER KONFLIK [S1&S2] segera terbit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang