CHAPTER 43

288 46 7
                                    

"Pavel, siapa dia sebenarnya?"

tanya Shanaye yang akhirnya menanyakan hal tersebut, setelah menyimpan rasa penasarannya terhadap sosok Pavel Moon yang sebenarnya. Yang Shanaye ketahui, Tin adalah seorang putra tunggal. Ia juga tak memiliki kerabat lainnya yang begitu dekat, terlebih seorang wanita. Selama ini Tin juga selalu hidup sendiri di dalam huniannya, selain para Alpha yang selalu menemaninya di luar.

"Bukankah tadi kau mengobrol banyak dengannya?"

"Benar ...."

"Lalu kenapa kau tak menanyakan hal itu padanya?"

Shanaye terdiam hingga beberapa saat, sebelum terlihat menarik napas kuat. Menoleh ke arah Tin yang terlihat tak tertarik membahas hal tersebut.

"Apa dia adikmu?" tanya Shanaye masih menatap pria di sampingnya yang hanya diam tak mengatakan apa pun, "Aku rasa itu benar," sambungnya, sedang Tin masih terdiam tak mengatakan apa pun.

Sebab saat ini pikiran pria itu terus tertujuh kepada Pavel. Tak hanya saat ini tapi sejak beberapa jam lalu, terlebih ketika tahu jika titik lokasi terakhir Pavel sedang berada di pusat latihan memanah dan menembak yang jaraknya memang tak begitu jauh. Sebenarnya ia tak masalah jika Pavel berada di sana untuk latihan, sebab tahu jika pria itu memiliki hobi memanah sejak dulu. Namun, yang ia khawatirkan adalah Rolf, memikirkan jika bagaimana pria itu menemukan Pavel di sana.

"Kalian terlihat tak begitu dekat satu sama lain," ucap Shanaye buyarkan lamunan Tin. Memang mereka terlihat seperti itu, dan begitulah yang terjadi. Mungkin mereka tak akan pernah dekat satu sama lain, seolah ada dinding kokoh yang membatasi mereka.

"Sebaiknya kau masuk, Shanaye. Malam sudah sangat larut."

"Tapi ada satu hal yang ingin aku tanyakan lagi padamu."

"Apa?"

"Mengenai hubungan kita."

Tatapan mereka saling mengunci. Tin terdiam sebentar dengan pikiran yang langsung tertuju ke arah balas dendam. Bukankah melenyapkan Shanaye lebih cepat itu lebih baik?

"Ada apa dengan hubungan kita?" tanya Tin, menunggu Shanaye menyerahkan diri padanya, maka dengan itu ia akan lebih mudah membuat Shanaye menderita. Dan tak hanya Shanaye, tapi juga kedua orang tua gadis itu sendiri.

"Apa artinya aku bagimu?" balas Shanaye dengan satu pertanyaan. Meraih telapak tangan pria itu untuk di genggamnya, "kau tahu jika aku sangat menyukaimu. Aku mencintaimu, Tin."

Tin menarik napas pelan, tersenyum di antara hati yang bahagia dan puas, sebab apa yang ia inginkan berjalan dengan sangat lancar. Tanpa mengejar pun gadis itu sudah datang padanya dengan sukarela. Tanpa aba-aba, Tin langsung mekarkan jemari, menyisir rambut gadisnya dengan perlahan hingga telapak tangan sampai ke tengkuk lehernya, meraih dan langsung melumat bibir Shanaye yang hanya pasrah padanya. Seolah ingin mengulang kejadian malam itu, di mana mereka saling berciuman penuh gairah.

Hingga Tin akhirnya kembali memegang kendali atas tubuh gadis itu. Dengan gerakan cepat ia meraih tubuh ramping Shanaye dan memangkunya, mulai kesulitan bernapas ketika bibir pria itu menempel di cekung leher, telinga dan berakhir di tengkuk lehernya yang juga membalas ciuman itu, saling menyambar dan bertautan hingga decakan terdengar dari mereka.

"Tin ...."

Napas Shanaye tersengal ketika Tin menahan kedua tangan di belakang pinggangnya.

"Apa kau keberatan?" tanya Tin mengangkat dress Shanaye hingga ke paha, sebelum telusuri paha mulus itu hingga Shanaye gelagapan.

Bagaimana tidak. Mobil Tin terparkir di depan rumahnya saat ini. Meski suasana rumah begitu sepi dari luar, tapi ia tetap waspada. Ibu dan ayahnya bisa keluar kapan saja dan memergoki dirinya yang tengah duduk di atas pangkuan Tin dengan tubuh nyaris telanjang.

BLACK&WHITETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang