Tin benar-benar meluapkan amarahnya pada gadis itu dengan cara yang berbeda, bahkan tak puas dengan hanya memeluk Shanaye dengan di barengi ciuman-ciuman yang entah bisa di sebut gairah atau kemarahan, Tin mendorong tubuh Shanaye hingga merapat ke tembok pagar rumahnya. Memegangi paha Shanaye dan mengangkatnya, dengan tangan lainnya yang mencengkram tengkuk dan mencumbu bibir gadis itu, bersamaan dengan iblis di dalam tubuhnya yang terus menyuruhnya untuk mengambil senjata yang terselip di balik punggungnya dan meledakkannya ke kepala gadis itu. Hingga beberapa menit berlalu ketika menyadari jika Shanaye mulai kehabisan napas.
"I am so sorry," bisik Tin dengan napas terengah sambil mengusap sudut bibir Shanaye yang sedikit berdarah dan membengkak.
"Apa ini membuatmu jauh lebih baik sekarang?" tanya Shanaye usai mengatur napasnya, menatap wajah Tin yang masih tertunduk sambil menyandarkan dahinya di pucuk kepala Shanaye.
Reaksi Shanaye sungguh jauh berbeda dari perkiraan. Tin sempat mengira jika gadis itu akan marah atas perlakuan kasarnya. Namun, ternyata tidak. Shanaye masih memiliki tatapan mata yang lembut dan hangat untuknya, begitu juga dengan cinta dan kasih sayang dari sorot mata itu meski tampak berkaca.
"Kau pasti kesal padaku."
"Aku tahu kau sedang marah saat ini," balas Shanaye yang sudah bisa memahami Tin.
Tin mengangkat wajah, menatap Shanaye lekat. Dengan kedua mata tajam menikam yang terasa menusuk jantung.
"Meski aku tak tahu, apa yang membuatmu tiba-tiba merasakan amarah, tapi aku berharap. Semoga kau baik-baik saja," sambung Shanaye, menjijit untuk mengecup dahi pria itu.
"Aku baik-baik saja," balas Tin memundurkan langkahnya ketika merasakan ada yang berbeda di dalam hatinya.
Untuk yang pertama kalinya ia merasa kasihan pada gadis itu, terlepas dari rasa bencinya.
"Sampai jumpa lagi, Shanaye," ucap Tin lekas pergi dan masuk ke dalam mobilnya, tanpa menunggu jawaban dari gadis itu.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi melintasi kota Green wich. Mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Rolf, semakin geram karena ponsel pria itu tak bisa di hubungi.
"GOD DAMN IT!"
Tin mengumpat sangat keras, melajukan mobilnya semakin kencang. Hingga dalam waktu beberapa menit saja, mobil berhenti di halaman mansion, turun dari sana dengan mesin yang masih hidup dan lampu mobil yang menyala. Melangkah lebar masuk ke dalam mansion dengan wajah yang menggelap lewati ruang tamu dan langsung ke kamar Pavel.
Mencengkram knop pintu dengan sangat kuat sebelum membanting pintu kamar hingga suara kerasnya mengejutkan Xena yang lekas memucat. Tak tahu harus mengatakan apa ketika menyadari kemarahan Tin saat ini yang sudah pasti karena keterlambatan Pavel.
"Di mana Pavel?" tanya Tin menghampiri Xena yang masih berdiri membatu di tempatnya dengan tubuh yang gemetar.
"B-belum p-pulang, T-tuan muda," jawab Xena kesulitan mengeja.
"Di jam sekian?"
"M-maaf ...."
BRAK!
Meja kini berpindah posisi, melayang hingga menghantam tembok. Dan Xena masih berdiri dengan sendi yang ia rasa mulai tak berfungsi lagi ketika kembali melihat kemarahan Tin.
"Apa dia bersama Rolf?" tanya Tin yang membuat lidah Xena seketika kelu.
Jantungnya berdebar begitu kencang hingga nyaris meledak saat Tin mencengkram lengannya kuat.
"Jawab aku, Xena," sambung Tin bernada rendah, terdengar menakutkan.
Begitu juga dengan cengkraman tangannya yang semakin kuat hingga bisa meremukkan tulang Xena yang bahkan tak berani untuk menunjukkan ekspresi kesakitannya. Begitu juga dengan air mata yang sekuat mungkin ia tahan agar tak menitik di hadapan Tin.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK&WHITE
ActionKrittin Selsmire "Kamu hanya akan bergantung pada keputusan yang aku ambil, setiap bagian dari dirimu adalah milikku. Kamu bisa hidup dan mati hanya atas kehendakku." Pavel Moon "Aku tak ingin menyakiti hatiku dengan terus memikirkanmu. Aku akan ber...