CHAPTER 73

217 30 12
                                    

SWITZERLAND.

Satu minggu berlalu setelah kejadian malam itu, tepatnya di sebuah kamar hotel. Di mana Shanaye menghabiskan malam dengan tidur di samping Tin. Bahkan ketika membuka kedua mata di pagi hari pun, ia masih bisa melihat wajah pria itu yang terus menatapnya.

"Morning, my Dear," sapa Shanaye di pagi itu.

"Morning."

"Kau bangun lebih awal?"

"Aku bahkan tak tidur."

Alis Shanaye mengernyit dengan jemari lentik telusuri rahang tegas Tin yang langsung memegangi pergelangan lengannya. Seolah tak ingin Shanaye terus menyentuhnya. Sungguh egois, itulah Tin yang hanya akan menyentuh Shanaye, tapi tak sukai ketika gadis itu balas menyentuhnya. Sebab ia benar-benar tak menyukainya.

"Semalaman?"

"Yah."

"Apa aku boleh tahu, apa yang membuatmu tak tidur?"

Tin terdiam, masih mencengkram lengan Shanaye.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Shanaye sekali lagi.

"Dirimu."

Kedua belah pipi Shanaye bersemu merah.

"Kau, memikirkanku?"

Tin melepaskan cengkraman tangannya dan masih menatap Shanaye dalam, bersamaan dengan satu sudut bibir terlihat melengkung ke atas dan rasa amarah yang kembali membuat jantungnya berdenyut nyeri. Hingga beberapa menit kemudian, sebelum Tin mengusap wajah gadis itu lembut.

"Tentu saja."

"Apa yang kau pikirkan?"

Kapan aku bisa menghancurkanmu dan keluargamu.

Tin kembali tersenyum. "Apa kau juga ingin mengetahuinya?"

"Apa tak boleh?"

"Yah," angguk Tin.

"Why?"

"Karena aku hanya ingin mengingatmu di dalam pikiranku tanpa kau mengetahuinya, begitu juga dengan orang lain," balas Tin yang lagi-lagi membuat kedua pipi Shanaye merona.

"Tin ...."

"Yah?"

"Apa kau benar-benar mencintaiku?" tanya Shanaye menatap pria itu dalam, hingga ia bisa melihat bayangan wajahnya di pupil mata kecoklatan itu. Sungguh indah, meski terselip kesedihan dan kesepian di dalam sana.

"Tentu saja," angguk Tin.

Tak menduga jika jawabannya kali ini justru membuat Shanaye berakhir menyerahkan dirinya. Dengan perlahan membuka kancing kemeja Tin satu persatu hingga tak ada yang tertambat lagi. Tampilkan tubuh sempurna yang proposional meski terdapat banyak bekas luka jahitan. Namun, semua bekas luka itu justru membuat Tin semakin terlihat gagah dan menarik.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Tin, tetapi tak berniat menghentikan Shanaye yang kini mengusap dadanya lembut.

"Don't you want to have me?" balas Shanaye dengan satu pertanyaan yang membuat Tin terdiam sesaat. Apa ini saatnya? Pikirnya pria itu masih menatap lekat.

"Kau yakin?"

"Yah, lakukanlah. I'm yours now," angguk Shanaye yang kini pasrah.

Memejamkan mata ketika merasakan jika di detik itu juga, helai demi helai baju yang ia kenakan kini mulai terlepas dari tubuhnya.

Apa pun yang sudah aku berikan saat ini, aku tak akan menyesalinya. Dan aku harap kau tak akan pernah meninggalkanku, Tin. Karena aku sangat mencintaimu.

BLACK&WHITETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang