CHAPTER 165

221 22 0
                                    

Satu minggu setelah insiden penembakan di sebuah taman tak jauh dari kondominium Pavel, dan satu minggu usai pertengkaran di antara dirinya dan Tin. Sejak saat itu hingga sekarang, Pavel masih merasakan kesedihan, karena Tin yang enggan menghubungi, bahkan mengabaikannya. Dan yang lebih membuat kesedihan Pavel memuncak adalah nomor ponsel Tin yang sudah tak bisa di hubungi lagi. Akirra dan Max pun tak tahu keberadaan Tin yang menghilang begitu saja tanpa memberi kabar sekalipun. Pria itu seolah menghilang di telan bumi, dan tak membiarkan seorang pun mengetahui jejaknya.

Dengan selimut yang menutupi separuh tubuhnya, Pavel kembali mengusap air matanya yang menitik saat memeriksa ponsel dan mencoba untuk menghubungi Tin, meski lagi-lagi panggilannya hanya di balas oleh operator yang mengatakan jika nomor yang di tujuh sedang berada di luar jangkauan. Entah di mana pria itu sekarang.

Pavel pun sudah tak bisa berbuat apa pun lagi, dan hanya terus diam menatap layar ponsel sambil memeluk kedua lututnya erat, melewati malam di sebuah ruangan tanpa cahaya lampu, dan hanya sedikit cahaya saja yang masuk dari sela jendela kaca yang tak sepenuhnya tertutupi tirai, bersamaan dengan air mata yang terus menitik kala tak kuasa merasakan kesedihan juga kerinduan kepada Tin.

Ini sangat melelahkan, apa karena terlalu sakit, Hingga aku merasa nyaris untuk menyerah. Tin ... katakan padaku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa kau ingin aku hanya tetap diam di sini dan terus menangis karena merindukanmu? Bukankah kau tak pernah ingin melihatku menangis? Lalu apa yang kau lakukan sekarang, di saat aku sedang menangis karenamu? Mengapa kau tak menemui dan memelukku? Aku merindukanmu, sungguh merindukanmu.

Pavel kembali menunduk, sembunyikan wajah dan air matanya. Meskipun ia menyadari jika sudah melakukan hal yang sia-sia, tetapi hatinya masih ingin percaya jika Tin pasti akan kembali padanya. Hingga di menit berikutnya, ketika pendengarannya kembali fokus kepada suara bel yang lagi-lagi terdengar di ruang tamunya. Tanpa melihat pun ia sudah tahu, siapa tamu yang terus membunyikan belnya hampir tiap malam, dan ia juga yang lagi-lagi mengabaikan tamu tersebut meski tak berlangsung lama, sebab pada akhirnya Pavel memilih untuk berdiri, setelah hampir satu minggu ia tak keluar apartemen dan terus mengurung diri di dalam kamarnya.

"Oh Tuhan, Pavel. Apa kau baik-baik saja?" tanya Ocean yang terlihat cukup terkejut ketika melihat kondisi Pavel di hadapannya.

"Apa yang kau lakukan sejak kemarin? Terus membunyikan bel apartemenku?" suara Pavel terdengar sengau,  melangkah tinggalkan Ocean yang masih berdiri di depan pintunya dan memilih duduk di atas sofa, tanpa mempersilahkan pria itu untuk masuk. Meski demikian, bukan Ocean jika ia akan terus berdiri di sana dan diam saja.

Tanpa permisi, Ocean ikut masuk ke dalam apartemen Pavel dan duduk di samping Alpha itu, menatap dengan penuh kekhawatiran. Terlebih ketika melihat wajah pucat dan kedua mata sembab, juga rambut kusut dan piyama kebesaran yang Pavel kenakan.

"Tak perlu menatapku seperti itu, aku baik-baik saja," ucap Pavel ketika merasa jika sejak tadi Ocean terus mengamatinya.

"Kau terlihat buruk, dan jelas sedang tak baik-baik saja."

"Lalu apa yang akan kau lakukan? Menghiburku?"

"Jika kau menginginkan itu."

"Maaf, aku tak menginginkan apa pun sekarang," balas Pavel, menatap Ocean yang tak hanya diam di sampingnya.

"Pavel, katakan padaku. Apa yang bisa aku lakukan untukmu?"

"Kau tak perlu melakukan apa pun. Dan dengan diam saja, kau sudah sangat membantuku."

"Tapi ...."

"Kau hanya perlu diam di tempatmu dan tak melakukan apa pun Ocean, itu sudah sangat membantuku," tegas Paveel sekali lagi, sebelum beranjak dari duduknya.

BLACK&WHITETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang