SPECIAL CHAPTER 2

916 57 8
                                    

Enam bulan kemudian

"Dad ... bagaimana kabarmu?" tanya Vinzenco.

Berdiri di pinggiran tempat tidur, menatap wajah sang pemilik kamar yang sudah menghuni kamar tersebut selama enam bulan lamanya, penghuni kamar yang masih terlelap di atas tempat tidurnya.

Sudah enam berlalu saat insiden penembakan itu terjadi. Pavel memilih untuk membawa Tin ke rumah agar bisa merawatya dengan baik, sebab tak ingin meninggalkan pria itu seorang diri di rumah sakit. Ia ingin selalu merlihat pria itu setiap saat, merasakan detak jantungnya dengan cara memeluk dan menyandarkan kepala di dadanya, memeriksa nadinya dengan cara menyentuh sambil menggenggam tangannya, mengajaknya berbicara dan selalu menemaninya agar tak merasa kesepian. Dan tak hanya dirinya, putranya pun melakukan hal demikian padanya, dengan harapan saat di pagi hari mereka akan melihat pria itu membuka mata sambil mengucapkan selamat pagi kepada mereka.

"Aku akan ke sekolah hari ini." Meraih telapak tangan sang ayah untuk di genggamnya, "Tapi Dad tak perlu bersedih, aku tak akan lama. Setelah pulang sekolah nanti, aku akan lekas kembali. Papa akan menemanimu. Lekaslah bangun, agar Papa berhenti menangis."

Vinzenco kembali merapikan selimut pria itu.

"Papa sangat mencintamu, Dad. Apa itu akan membuatmu terbangun?" sambung Vinzenco dengan wajah yang kembali muram, "aku merindukanmu, Dad. Aku selalu menunggu, kapan Dad terbangun agar bisa mengantarku ke sekolah. Aku ingin memamerkanmu di depan teman-temanku, agar mereka berhenti berkata omong kosong. Tapi aku berjanji padamu, aku tak akan memukuli mereka lagi. Kata Papa, semua doaku tak akan terkabul jika aku menjadi anak yang nakal."

"Vinzent, waktunya sekolah. Uncle Akirra sudah menunggumu di luar," panggil Pavel, berdiri di ambang pintu dengan tas sekolah milik sang putra di tangannya.

"Apa akan ada Paman Earth lagi?" tanya Vinzenco yang masih enggan untuk beranjak dari tempatnya, terlebih untuk melepaskan genggaman tangan sang ayah.

"Emm ... aku rasa, tidak. Dia tak ikut kali ini, ada apa?" tanya Pavel, melangkah menghampiri putranya.

"Paman Earth selalu berbicara tanpa henti, seolah tak pernah lelah untuk itu. Ia juga selalu memelukku hingga aku kesulitan untuk bernapas," balas Vinzenco yang lebih terdengar seperti keluhan hingga membuat Pavel tak bisa menahan senyumnya.

"Aku rasa Paman Earth sangat menyukaimu, Nak." Merapikan rambut putranya.

"Kata Paman Earth, ia juga menyukai Paman Akirra."

"Oh, begitukah?"

"Yah," angguk Vinzenco akhirnya beranjak dari duduknya, "Dad, sampai bertemu siang nanti," sambungnya.

"Oh, baiklah," angguk Vinzenco mencium punggung tangan ayahnya sebelum melangkah mendekati Pavel.

"Jangan membuat Paman Akirra khawatir lagi kali ini karena mencarimu, dan jangan ke mana pun sebelum Paman Akirra menjemputmu, kau mendengarku, Tuan muda?"

"Hmm," angguk Vinzenco, "Pah, jaga my Dad dengan baik," sambungnya.

"Tentu," angguk Pavel, mengusap kepala putranya sambil tersenyum dengan bibir pucat dan wajah lelah karena kurang tidur, sebelum mengecup ujung kepalanya lembut.

Melambai kepada sang putra yang berjalan beriringan bersama Akirra yang pagi ini akan mengantarkannya ke sekolah, sebab Max masih harus menyelesaikan banyak pekerjaan yang tertunda sebelum hari pernikahannya tiba.

Pavel membuka tirai jendela agar sinar matahari pagi leluasa masuk ke dalam ruangan tersebut, bersamaan dengan udara sejuk dan aroma bunga mawar yang pagi ini ia petik untuk di tata di dalam vas cristal dan ia letakkan di atas nakas, tepat di samping tempat tidur Tin sebelum memulai rutinitasnya untuk merawat Tin. 

BLACK&WHITETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang