864. The Last (97)

9 2 0
                                    

.

「Terakhir」

»–R–I–M–«

.

Pertarungan mereka tampak seperti perang mitos yang akan menentukan nasib dunia.

Alih-alih berjuang untuk kepercayaan mereka, mereka terlihat seperti pertempuran antara lawan yang telah mencapai batasnya. Tapi pemandangan yang aku lihat lebih menakjubkan; Ini memberiku perasaan tak terlukiskan.

Mungkin semua orang punya pendapat serupa.

Beberapa bahkan tidak bernafas ketika menatap langit.

Orang-orang menyemangati Sunset Swordsman, dana para priest terus berdoa. Jalanan terus bertambah ramai.

– Bukan hanya kau. Aku juga akan lengkap. Aku akan mengambil jiwa Putera Cahaya dan membuatnya menjadi milikku. Aku akan terlahir kembali entah itu sebagai diriku atau dirinya. Aku tahu aku masih kurang, tapi yang baru akan berbeda. Dengannya kau akan benar-benar lengkap.

– …...

– Kau tidak punya pilihan selain mengakui diriku. Pada akhirnya, kau akan mengerti kalau aku benar.

Ketika Putera Cahaya pada akhirnya muncul, hanya satu suara yang bergema di Medan pertempuran, pemilik suara itu dengan tenang menatap langit.

“Hyung…”

Penampilannya mengerikan.

Iblis merah yang telah menghina mayat Kardinal Kehormatan dan mencoba mengambil jiwanya  bahkan lebih brutal, bengis, dan aneh dari musuh yang pernah dihadapi oleh benua, itu sampai membuatku merasakan ketakutan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Sebenarnya aku merasa beruntung tidak berada di sana.

“Putera Cahaya…”

“Aku mohon, Dewa, jika suara kami dapat mencapaimu, selamatkan Putera Cahaya dan Sunset Swordman.”

“Tolong… tolong… aku tahu kami tidak berhak mengatakan ini karena kami tidak dapat melindungi Putera Cahaya, tapi sekali lagi aku berdoa tanpa rasa malu agar engkau memberi mereka kesempatan lain.”

“Tolong selamatkan Putera Cahaya. Oh, Dewa. Kami tidak bisa membiarkan dia berkorban lagi. Dia telah memberikan seluruh hidupnya untuk benua.”

“Oh, Benignore…”

“Oh, Elune. Beri mereka kekuatan. Tolong…”

Suara berdatangan dari sekelilingku. Mereka berkumpul di kuil dan mempersembahkan doa setulus yang mereka bisa, bahkan di sudut paling selatan benua.

Di sampingku, aku melihat wajah familiar. Tangannya juga bertaut dengan rapat.

Dia tercampur di antara orang-orang yang melakukan hal serupa, namun cardnya menggigit bibir bawahnya membuat dia terlihat lebih serius dari orang lain di sini.

“Aku mohon, jangan biarkan sesuatu terjadi padanya… aku mohon…”

“…...”

“…...”

Pada akhirnya, aku tidak punya pilihan selain berbicara dengannya. Aku hanya tidak tahan melihatnya dalam diam.

“Apa kau baik-baik saja, Raphael?”

“…”

“Ya, Marien. Aku tidak apa.”

“Kau mencemaskan dia, kan?”

Lee Kiyeon [ 5 ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang