.
「Terakhir」
»–R–I–M–«
.
“Kiyoung… Kiyoung!”
“Aaahh…”
Untuk sejenak, dia berteriak pada dukungan luar biasa dari orang-orang.
‘Brengsek, ini kacau. Ada apa dengan mereka?’
Raphael, bajingan itu! Aku tahu itu. Harusnya aku menyerah saja padanya.
Aku menggerakkan jari-jariku dengan gugup, tindakanku saat ini terbatas. Aku lega karena masih memiliki…
‘Jihye. Sial. Syukurlah.’
Meski aku tidak menjelaskan secara detail, dia akan mengatasi segala dengan baik. Aku sudah mengatakan kepadanya.
Aku ingin mengatasinya sendiri kalau bisa, tapi agak sulit untuk mengendalikan keseluruhan situasi.
Mana mungkin satu orang bisa di lapangan merespon semua variabel kompleks?
Kalau aku tidak di posisi ini, aku sudah melakukannya, tapi kali ini, aku harus fokus pada apa yang ada di depanku.
Saat ini demi benua, divinity banjir secara real-time, dukungan yang luar biasa dari masyarakat, dan fakta bahwa banyak investasi telah dilakukan untuk sampai di sini adalah alasan kenapa aku tidak bisa mengabaikan hal ini.
Aku juga berkomunikasi dengan Yuno Kasugano, jadi meski naskahnya berubah, aku harus merespon sesuai situasi.
Meski Raphael datang, kemungkinan besar masa depan akan melakukan pencegahan agar tidak berubah, itu sebabnya aku tidak perlu gugup. Tindakan yang paling logis adalah fokus di sini.
Nyatanya, ada alasan besar kenapa aku perlu memeriksa kondisi Kim Hyunsung. Aku mendorongnya sampai ke dasar meski dia sudah berada pada batasnya…
Aku tidak punya pilihan selain fokus padanya. Jujur, kalau dia orang biasa, dia pasti sudah gila.
Dia hampir tidak bergerak, berjalan pada seutas tali di gedung tinggi.
Itu tampak seperti tali yang hampir putus, tapi sutradara berbakat bisa mendorong aktor sepertinya sampai batas.
‘Ya, ini tindakan yang benar. Aku hanya akan fokus di sini.’
Emosi terkuat dalam dirinya adalah rasa bersalah, dan meski dia telah memutuskan untuk pergi menuju garis waktu ketiga, dia tidak akan sepenuhnya mengabaikan garis waktu kedua.
Meski itu berarti mendapatkan awal yang baru, menyaksikan penderita Putera Cahaya mungkin tidak tertahankan baginya.
Bagaimana bisa Kim Hyunsung, yang berhati lembut, mengabaikan teman dekatnya yang jiwa dan raganya disiksa?
Dia terus berteriak marah.
“Dasar bangsat!”
Aku memanggil namanya dengan tenang dan segera mendapatkan respon.
“Hyun… sung…”
“Kiyoung! Kiyoung! Apa kau dengar aku?”
“Iya… iya… aku mendengarmu.”
Ketika aku mengalihkan pandangan, aku melihat dia dengan kalut bersandar pada menara besar.
Matanya terus terpaku padaku sambil mengayunkan pedangnya dengan putus asa melawan para monster.
Setelah perasaan bersalah yang besar hingga di kepalanya, dia tampak kosong.
Tidak perlu berkata apa-apa lagi, dia sedang merasa sangat gelisah sekarang.