Untuk pertama kalinya, ia ingin berbagi rasa sakit dengan seseorang.
***
BULAN terlihat begitu cantik malam ini. Semilir angin yang menerpa pepohonan pun nampak sedang mencoba memecah keheningan di antara dua insan itu. Gelapnya malam tak membuat mereka melepaskan pandangan. Keduanya justru saling menelisik ke dalam lensa mata di hadapan mereka. Mencoba memahami apa yang sedang dirasakan.
Alice tahu, permintaan Sean beberapa detik yang lalu bukanlah permintaan yang sulit. Tapi beban dan kecemasan yang tergurat jelas di mata Sean membuatnya begitu penasaran. Kenapa seorang Sean Black yang dingin dan tak perduli terhadap sekitarnya, terlihat begitu banyak menyimpan beban pikiran? Sebenarnya apa yang dicemaskannya? Apa yang membuatnya bisa mengerutkan alis begitu lama?
Andaikan Alice mengenal Sean sejak lama, ia mungkin akan mengerti apa yang sedang dirasakan lelaki itu. Mungkin ia bisa membantu meringankan bebannya. Tapi nyatanya, Alice bahkan belum sebulan tinggal di sana. Dan belum sebulan juga ia mengenal sosok Sean. Sosok yang masih menyembunyikan banyak hal dari sekelilingnya.
"Bisakah?"
Suara yang terdengar dalam itu menyelinap masuk ke dalam telinga Alice. Berhasil membuatnya mengerjap untuk beberapa saat. Wajah tegas Sean masih bertahan. Menatap serius ke dalam bola mata Alice.
"Kenapa aku harus melupakannya secepat itu? Dan kapan kau akan memintaku mengingatnya lagi?"
Sean diam. Terlihat enggan untuk menjawab.
"Kau ... apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan? Apa ini ada hubungannya dengan Zero? Aku mohon beritahu aku."
Sean memandang Alice dengan tatapan yang sulit diartikan. Dan Alice tak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran lelaki itu.
"Bukankah waktu itu ... kau bilang bahwa kau tak akan mengungkit tentang vampire lagi jika aku kembali?" tanya Sean masih pada pendiriannya.
"Tapi matamu ... terlihat cemas. Aku pikir kau kembali bukan karena perkataanku."
Sean sedikit menjauhkan wajahnya. Alice memang benar. Alasan lain ia kembali bukan karena gadis itu. Ini semua karena surat yang diberikan Zero ke apartemennya. Itu membuktikan bahwa Zero benar-benar mengawasi dirinya agar tak menggagalkan rencana lelaki itu. Dan tak dapat dipungkiri lagi, Zero sudah sering mengawasi Alice. Namun untuk kesekian kalinya, Sean tak ingin memberitahu Alice yang sebenarnya terjadi. Setidaknya untuk sekarang ia harus merahasiakannya.
"Kau tak perlu menanggung semua beban ini sendirian, Sean. Beritahu aku apa yang sebenarnya terjadi."
Sean menemukan tatapan penuh harap dari Alice. Tapi ia tetap pada pendiriannya. Sean menggeleng pelan. "Aku tak bisa, Alice. Please, turuti saja perkataanku. Biarkan aku yang mengurusnya." Sean juga memberikan tatapan memelas. Berharap Alice akan mengerti.
Alice menyerah. Ia menghela napas sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah, baiklah. Aku tak akan memaksamu lagi."
Sean menarik sedikit kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. "Terima kasih. Sekarang aku akan membawamu ke suatu tempat."
Alice mengangguk lagi. Ia melihat Sean tiba-tiba saja membuka jas hitamnya. Lalu lelaki itu menyodorkannya pada Alice.
"Pakailah. Kau akan kedinginan."
Alice menerimanya dan segera memakai jas hitam tersebut. Aroma mint langsung menyeruak ke hidungnya. Aroma khas Sean.
"Pegangan yang erat."
Baru saja Alice ingin menikmati aroma mint tersebut, Sean sudah membuatnya kembali mengerutkan alisnya bingung. Dan belum juga gadis itu membuka suara, Sean sudah berdiri di depannya dengan sedikit membungkuk. Lelaki itu juga menarik tangan kanan Alice, membawa tubuh mungil tersebut di punggungnya. Lalu dengan gerakan cepat, Sean berlari sambil menggendong Alice menuju tempat bintang-bintang bumi berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Regulation of Vampire [END-Part Masih Lengkap]
VampirosSeason 1 dan 2 Ada teror di loker Alice ketika ia mengetahui satu fakta tentang Sean Black, teman sebangkunya yang misterius. Kejadian aneh terus terjadi. Sang pengirim bunga mengincarnya, berusaha mengambil darahnya. Kelompok bermata serigala pun...