Epilog

42.5K 3.9K 552
                                    

Satu persatu dari mereka mulai berlalu pergi. Suara derum mobil yang meninggalkan halaman rumah, hanya bisa aku balas dengan lambaian tangan, berharap mereka akan melihat senyumanku dari kaca spion. Tapi sepertinya mustahil. Mobil hitam itu semakin mengecil, aku tak perlu melambai lagi.

Sekarang kutatap lensa coklat di sampingku. "Pulanglah. Bukan ke apartement. Tapi ke rumahmu."

Sebuah senyum miris tertarik di bibir Sean. Aku tahu bagaimana perasaannya. Memang tak mudah kembali ke rumah jika tak ada seorang pun yang menunggu. Tapi Sean sudah terlalu lama jauh dari rumahnya. Mungkin tidak selama Zero, tapi itu pasti membuat Sean rindu. Bagaimana pun ia membenci keadaannya sekarang, ia pasti rindu pulang.

"Kau tahu sendiri, Alice—"

"Aku tahu." Aku berjalan ke depan Sean dan menatap mata lelaki itu dengan lembut. "Aku juga tahu, Sean. Tapi, apa kau benar-benar tak rindu rumahmu? Meskipun ketika kau ke sana tak ada yang menyambutmu, atau bahkan kau merasakan dinginnya rumah itu. Tapi aku harap, kau pulang, Sean. Setidaknya satu kali."

Sean terdiam, membuatku tersenyum karena bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya. "Kau rindu, ingin pulang ke rumah, tapi kekosongan menahan langkahmu. Kau takut akan mengingat masa-masa itu dan kembali larut dalam kesedihanmu."

Aku memutuskan untuk melangkah semakin dekat, lalu memeluknya dengan erat. "Tak apa. Biarkan dirimu menangis sekencang mungkin, kemudian lepaskan bebanmu. Setidaknya ada satu orang yang mengingat kenangan indah itu, agar tak ada yang terlupakan."

Sean perlahan membalas pelukanku. Begitu erat, seolah ia sedang mengumpulkan kekuatan, menyiapkan dirinya sebelum pergi. "Baiklah. Aku akan pulang."

Aku menjauhkan tubuhku. Sean menatapku sekali lagi sebelum melangkah mendekati mobil. "Telepon aku jika terjadi sesuatu."

Aku mengangguk cepat. "Tak perlu khawatir. Pergilah."

Aku mendengar Sean menghela napas. Lelaki itu akhirnya masuk ke dalam benda hitam itu. Ia menatapku lagi dan aku hanya bisa tersenyum.

Aku tahu Sean masih khawatir. Tapi aku sudah terbiasa sendirian di rumah. Melihatnya seperti itu membuatku gemas. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan Sean. Tapi yang bisa kulakukan hanya menyuruhnya pergi. "Kenapa diam? Pergilah. Aku akan baik-baik saja di sini."

"Jika terjadi apa-apa, kau harus meneleponku. Harus!"

Aku tak bisa menahan kekehanku. Dia memperingatiku dengan wajah serius. Namun aku merasa itu justru menggemaskan. Kembali, aku mengangguk. Berusaha terlihat seyakin mungkin agar Sean sedikit tenang.

"Baiklah, aku pergi."

Aku segera melambaikan tangan sambil menatap mobilnya yang mulai bergerak menjauh. Untuk beberapa saat, kubiarkan tubuh ini mematung—meskipun aku tahu, mobil Sean sudah tak terlihat dalam pandanganku.

Kuhembuskan napas sejenak. Bagaimana pun sendirian memang tak enak. Hanya ditemani keheningan hingga merasa kesepian. Sean sendiri tahu bagaimana rasanya. Dan ia sepertinya tak ingin aku merasakan hal ini lagi.

Kuputuskan untuk berbalik, kembali ke rumah. Kututup pagar putih yang telah dicat ulang, terlihat seperti baru. Halaman rumah yang sebelumnya ditumbuhi rumput liar, kini nampak indah. Kemarin kutanam kembali bibit bunga. Aku yakin jika bunganya sudah tumbuh, halaman rumahku akan terlihat lebih cantik.

Ah, aku sangat suka ketika menginjakkan kaki melewati tangga menuju pintu rumah. Tak ada lagi anak tangga yang berlubang. Rasanya menyenangkan. Setidaknya sekarang rumahku tak terlalu menyeramkan.

Sekarang apa yang harus aku lakukan? Bosan sekali. Hanya menonton televisi, memakan camilan, atau menikmati terik matahari dari balkon kamar. Tapi ngomong-ngomong, rumah ini begitu besar. Sedikit tak menyangka Mom dulu pernah memiliki rumah seperti ini.

Regulation of Vampire [END-Part Masih Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang