50| Tragedi

467 39 10
                                    

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Sungguh. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri jika nyatanya sampai hari ini aku menyadari bahwa akulah penyebab utama kamu pergi.

-Aisyah Humairah-

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Fathan pov.
Setelah memastikan caca benar benar masuk kedalam rumah, aku memacu jalan mobilku.
Aku melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga sementara aku akan meeting pukul jam tiga dan aku adalah pembicaranya.

Aku melajukan mobilku kencang dan terus beristighfar kepada allah.
Saking kencangnya aku tidak menyadari bahwa ada seorang anak yang tangah menyebarangi jalan.
Aku sadar ketika jarak mobil dengan anak itu sudah dekat.
Aku langsung banting stir ke kiri dan menyebabkan mobilku menabrak tiang lampu jalanan.
Kepalaku terbentur dan aku masih bisa melihat banyak orang yang datang mengerumuni mobilku
Aku merasakan sakit yang luar biasa dikepala bagian depan.

Aku berusaha mengambil handphone ku dan menelfon caca. Namun, detik selanjutnya aku tidak bisa lagi melihat dan mendengar apa apa.

Aisyah pov.
Aku tidak kembali ke kamar setelah diantar oleh bang fathan. Aku juga tidak makan siang karena aku merasa perasaanku tidak enak.
Aku menelfon bang fathan namun tidak diangkat.
Aku berfikir mungkin bang fathan sednag meeting sehingga handphone nya dimatikan.
Aku terus beristghfar di dalam  hati agar semua perasaanku dapat hilang.

Baru saja aku ingin beranjak ke dapur,
Aku dikejutkan dengan suara handphoneku.
Havva?

Aku mengangkatnya.

"Halo assalamualaikum havva."
Aku mendengar havva terisak.

"Havva kenapa?"
Aku cemas.

"Caca, cepetan kemas kemas ya. Tadi udah aku suruh sopir buat jemput kamu ke rumah sakit."
Aku terheran heran.

"Kerumah sakit buat apa va?"
Aku berusaha tenang.

"Fathan kecelakaan dan sekarang dia sudah di bawa kerumah sakit. Mobilnya sudah aku urus untuk diperbaiki sementara fathan sedang mengalami masa masa kritis. Jangan lupa bawa perlengkapan dia dan juga untukmu.
Yang kuat sayang. Aku juga ikut menangani fathan. Assalamualaikum."

Bak disambar petir disiang bolong.
Kabar yang hanya disampaikan oleh havva dalam satu tarikan nafas itu seolah olah menajdi jawaban bagiku kenapa dari tadi aku merasakan perasaan yang tidak enak.

Aku tidak hilang kendali.
Air mataku terus terusan mengalir dan tidak mau berhenti.
Aku mengambil beberapa keperluan untukku dan juga untuk abang yang mungkin saja akan di butuhkan selama di rumah sakit.

Setelah kurasa cukup, aku membuka pintu utama dan menemui satpam.
"Pak, jaga rumah ya. Saya mau kerumah sakit. Abang kecelakaan."

Aku tidak menjawab pertanyaan pak satpam karena mobil yang disuruh havva untuk menjemputku sudah datang

"Ibu caca?"
Aku mengangguk cepat.

"Ayo jalan cepat pak."
Aku membuka pesan line dari havva

Lantai 15
Nomor kamar 76

Aku yakin ini adalah kamar rawat bang fathan.
Mobil terus melaju membelah jalanan kota semarang yang terasa panas.
Yang aku takutkan selain bang fathan masuk rumah sakit adalah orang tuaku dan orang tua bang fathan sedang berada di luar kota untuk menghadiri acara keluarga bang fathan disana.
Dan baru akan kembali besok dua hari sebelum resepsi aku dan bang fathan.

Ah, resepsi.
Sepertinya acara ini akan di undur atau bahkan di cancel.
Beberapa undagan memang telah disebar namun tidak semua.
Hanya kepada keluarga keluarga terdekat.
Rencananya undangan ini akan di jalankan nanti malam dan besok.
Tapi apa yang harus aku perbuat jika
Bang fathan saja dalam keadaan koma seperti ini.
Aku terus beristighfar didalam hati.

"Silahkan lanjut ke kamarnya bu, barang barang biar saya yang bawakan."
Aku mengangguk dan bertanya kepada bagian informasi tentang kamar banģ fathan.
Setelah mendapat kejelasan, aku berlari menuju lift
Sungguh, yang  ada dalam fikiranku saat ini adalah bertemu dan melihat keadaan bang fathan secara langsung.

Aku melihat havva baru saja keluar dari sebuah kamar.

"Havva."
Suaraku yang keras membuat havva langsung menoleh kearahku tanoa sibuk mencari sumbernya.
Mata havva terlihat bengkak.
Havva langsung memelukku

"Ingat, semua tang terjadi adalah kehendak allah. Kamu tidak boleh sedikitpun merasa kecewa atas kehendakNya caca. Kamu pasti tau apa yang harus kamu lakukan. Berdoalah ca. Aku selalu disampingmu"
Aku menangis mendengar havva. Meskipun aku belum mengetahui keadaan bang fathan sebenarnya

"Aku ke bawah sebentar. Masih ada yang akan aku urus. Fathan ada di dalam."
Aku mengangguk.

Aku menghela nafas sebelum masuk kekamar tempat bang fathan di rawat.
Pandangan pertama yang aku temukan adalah kepala bang fathan yang diperban.
Alat alat pembantu lainnya juga lengkap terpasang pada tubuh bang fathan.

Aku menutup mulutku agar suara tangisku tidak terdengar.
Sakit sekali melihat orang yang selama ini melindungi kita terbaring lemah.
Sakit sekali saat melihat tangan yang selama ini membelai dengan penuh kasih tekulai lemas.

Tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan melihat bang fathan menderita merasakan sakit.

Aku mendengar ada yang masuk.
"Tarok dimana bu?"
Ternyata pak sopir tadi.

"Disana saja pak."
Aku menunjuk nakas dan bapak tersebut menurut.
Selanjutnya bapak tersebut pamit.

Aku melangkah perlahan menuju tempat duduk disebelah ranjang bang fathan.

"Assalamualaikum abang."
Aku berharap ada jawaban.
Namun yang aku dengar hanyalah suara monitor detak jantunh bang fathan.
Miris.

"Assalamualaikum sayang."
Aku mengulanginya sekali lagi namun tak kunjung menemukan jawaban.
Aku terisak.
Sakit benar benar sakit mengingat bahwa suara yang selama ini menangkan sekarang sedang bungkam.

Aku berusaha menguatkan diri sendiri
Menerima keadaan yang nyatanya tengah menguji kesabaranku apalagi bang fathan yang saat ini merasakan sakit.

"Abang, caca lagi nangis loh. Kok abang nggak meluk caca?"
Aku berusaha tersenyum saat jawaban dari bang fathan lagi lagi tidak menjawab pertanyaanku.

"Biasanya kan abang meluk caca kalau nangis. Kok sekarang nggak?"
Aku menahan dadaku yang sesak karena sudah terlalu lama menangis.
Aku tèrisak di tempat duduk sebelah ranjang bang fathan.
Tak ada yang bicara. Ruangan putih ini seolah bungkam dengan apa yang terhadi padaku dan juga bang fathan.

"Abang, aisyah kangen abang. Ngomong dong sama aisyah."
Aku benar benar lepas kendali.
Aku tidak mau kehilangan bang fathan sekali lagi.

Sedikitpun bang fathan tidak bergeming.

Aku menangkupkan tanganku kewajahku.
Berharap semua ini hanyalah mimpi dan bang fathan akan datang mengakihiri semuanya.
Namun pada kenyataannya peristiwa hari yang terjadi hari ini adalah nyata.
Bang fathan sudah jelas terbaring di depanku. Apalagi yang tidak nyata?

Aku terlalu lelah karena sudah terlalu lama menangis.
Hingga akhirnya aku tertidur dengan posisi duduk disamping ranjang bang fathan.

"Bang fathan kapan bangun?"

____________________________________________

Teman Menuju Syurga (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang