55| ICU

348 29 0
                                    

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Sebenarnya petang itu penuh dengan asmaraloka,
Kita duduk diantara tamaram cahaya cinta yang menggelora, sekalipun kita tak pernah mengundang duka.
K

ita hanyut dalam nyanyian cinta sehingga lupa bahwa nestapa sudah berada didepan mata untuk merenggut kamu sehingga kita tinggalah aku
Aku sempat menyumpahi takdir seraya berkata ini semua tidak adil, bagiku tak ada yang lebih menyakitkan dibanding pelukan yang dipisahkan dengan paksaan.

Aku belum siap ditinggalkanmu.

Aku sumarah pada takdir baik yang seolah tengah mecibir kearahku dan berkata bahwa hari ini aku harus bersedih.
Dimana lagi aku mengajukan kisah sebagai sebuah permohonan untuk didengarkan? Haruskah berbicara pada sebuah kaca? Atau malah menyusulmu dan ikut pergi ke syurga?

-Aisyah-

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••




"Ma, bilang sama umi juga ya kalau beberapa hari kedepan nggak usah datang ke rumah sakit." aku gemetaran saat berbicara pada mama

"loh, kenapa emangnya va? Kasian dong caca sendirian dirumah sakit."
aku menghela nafas. Berat untuk mengatakan perkataan yang tidak sesuai dengan kenyataan ini sebenarnya. Tapi ada seorang wanita yang harus aku jaga karena kepolosannya.

"fathan udah dipindahin ke ICU mah. Eh jangan kaget dulu, bukan karna apa apa kok. Di ICU kan perawatan sama alat alatnya lebih bagus tuh. Makanya dipindahkan kesana."
Aku sudah menyangka mama pasti akan langsung panic saat mendengar bahwa fathan masuk ICU.

"kamu yakin fathan baik baik aja kan va?"
aku menggigit bibir bawahku. Berat sekali rasanya untuk berbohong, tapi aku harus melakukannya dan ini semata hanya demi kebaikan.

"yakin in sya allah ma. Jangan lupa doain fathan ya ma." Lanjutku

"iya mama doain terus kok. Terus kalau fathan di ICU caca dimana?"
pertanyaan mama menyadarkanku bahwa aku belum menemui caca.

"caca boleh pulang sebenarnua ma. Nanti kalau fathan udah bangun, havva akan kabari caca langsung. Tapi itu semuanya terserah pada caca." Ya kalau bukan pulang caca harus kemana lagi sementara caca tidak boleh memasuki ICU. Fathan harus istirahat total untuk mempercepat penyembuhannya dan kembali berkumpul bersama istri yang sudah sangat merindukannya.

Setelah menelfon mama, aku juga menelfon ummi dan mengatakan hal yang serupa dengan apa yang sampaikan kepada mama tadi dan Alhamdulillah umi mengerti. Sekarang yang harus akupikirkan adalah bagaimana aku mengatakannya pada caca?

Sekarang aku sudah berdiri didepan kamar rawat inap fathan.
Aku urung untuk menekan tanganku kebawah saat tanganku sudah bertengger di kenop pintu. Mungkin suasana akan mengandung bawang jika aku menyampaikannya secara formal kepada caca di dalam ruangan tertutup.
Aku pergi meninggalkan kamar rawat fathan dan terus berjalan kerah belakang.

Aisyah pov.

Sudah lebih dari 2 jam aku disini.
Sekarang aku benar benar sendiri.
Jika sebelumnya aku kesepian karena bang fathan tidak bangun namun kini aku benafr benar sepi karena memang tidak ada siapa siapa disini. Aku benafr benar sendiri.
Tak ada kegiatan selain duduk melamun memikirkan perkataan havva bahwa bunyi mesin yang terletak disebelah bang fathan tadi berkaitan dengan nyawa bang fathan.
Aku benar benar tidak mengerti dengan cara kerja mesin itu.

Aku ingin sekali menelfon havva dan menanyakan tentang bang fathan namun selalu gagal saat aku meyakinkan diri bahwa havva pasti sedang sibuk.
Tapi aku juga bingung sendiri jadinya, apa yang terjadi dengan bang fathan? Masih baik baik sajakah? Benarkah seminggu lagi abang akan bangun sesuai dengan perkiraan havva? Apakah kepanikan havva barusan bertanda baik atau justru malah sebaliknya? Begitu banyak pertanyaan pertanyaan tentang bang fathan mengitarii kepalaku dan aku ingin mengetahui jawaban secepatnya.

Aku keluar dari kamar bang fathan.
Menatap karah kiri dan kekanana, barangkali havvaa sudah mau menghampiriku namun yang aku lihat hanyalah lorong rumah sakit yang sepi. Sama seperti aku yang sudah terlalu lama sepi karna bang fathan tak kunjung menyapa. Aku terus berjalan tak tentu arah, aku merasakan saku gamisku bergetar. Siapa?

"assalamualaikum ca."
aku mendengar suara havva

"walaikumsalam va, gimana keadaan bang fathan?"
aku langsung bertanya tanpa aba aba

"mm, ca bisa temui aku di taman belakang nggak? Turun aja kelantai satu dengan lift ya."
aku menemukan ketenangan dalam jawaban havva. Tapi, kenapa havva tidak menjawab pertanyaanku tentang bang fathan?

"oh, iya iya va, aku kesana. Assalamualaikum." aku mematikan telfon secara sepihak. "
pasti bang fathan sudah bangun dan ingin memberiku kejutan dengan menyuruhku ketaman. Lalu bang fathan akan memelukku nanti. aku membatin. Ah, aku sudah tidak sabar bertemu dengan lelakiku itu.

Aku memasuki lift dan menekan tombol yang akan mengantarkanku ke lantai satu. Dan berjalan cepat saat sudah menapakan kaki dilantai dasar rumah sakit ini.

Aku tidak terlalu tau letak dan susunan rumah sakit ini, jadi aku putuskan untuk menelvon havva sekali lagi

"havva, tamannya dimana sih? Ini aku udah muter muter kok aku disini mulu?"
aku mengadu karna aku sudah melewati tempat yang sama sebanyak dua kali.

"yaudah, tunggu disana aja ya ca. Aku jemput. Jangan kemana mana pula."
aku mengiyakan lalu havva menutup telfon.
Aku hanya mematung berdiri karena sekalipun aku tidak pernah mengelilingi rumah sakit ini, jadi nggak salah dong kan kalau aku ngga tau dimana letak taman.

"caca"
merasa dipanggil, aku meneoleh. Havva

"yuk keteman."
benar saja, aku sudah menemukan ketenangan diwajah havva dibandingkan sebelumnya saat membawa bang fathan ketemoat yang aku tidaktau dimaana .

"va, abang,"
belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, havva sudah menempelkan telunjuk dimulutnya. Siapapun akan menegerti jika saat ini aku disuruh diamm oleh havva.havva menggandengku dan selama di perjalanan dia hanya diam. Havva, ada apa?

Havva pov

Benar saja. Perkiraanku bahwa caca tersesat ternyata benar.
Perlahan lahan aku mulai paham dengan kehidupan caca yang masih sangat lugu.
Bukan apa apa maksudku, caca orangnya terlalu perasa dan tidak terlalu mneyukai keramaian karena memang caca jarang berkecimpung dengan suasana ramai.
Aku menegrti sekarang kenapa caca santai saja saat mesin pendeteksi detak jantung fathan berbunyi.
Aku paham betul kenapa fathan begitu mengkhawatirkan caca saat berbelanja sendirian di mall besar sewaktu fathan baru pertama kali balik ke indonesia dari turki.
Aku sudah menemukan jawaban kenapa fathan begitu protektif dan menyuruhku untuk mengantar dan menjemput caca saat ke butik untuk membeli baju resepsi yang bisa saja caca lakukan dengan naik taksi.

Aku sudah paham semua itu sekarang, bukan semata mata karena caca cengeng, bukan semata mata karena caca bodoh.
Tapi karena aisyah terlalu perasa dan tidak ingin berhadapan langsung dengan banyak orang yang baru dikenali.
Aku paham bahwa caca selembut itu.

_________________________________________

Holla gais, beberapa bagian mungkin akan mengaduk aduk emosional ya. Mungkin sih. Jadi, ikutin terus yaaa

Teman Menuju Syurga (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang