51| Harus Kuat

386 32 6
                                    

"Sayang bangun."
Aku di kejutkan dengan sebuah suara yang aku yakin adalah suara mama.
Aku membenarkan posisi kerudungku yang kedodoran karena tertidur.
Pemandangan pertama yang aku temukan adalah ada umi dan abi, papa dan mama serta havva.

"Aku udah telfon mama sama umi ca. Tadi mau bangunin kamu tapi kayaknya kamu capek banget."
Ucapan havva menyadarkanku bahwa aku belum memberitahu orang tuaku dan juga orang tuanya bang fathan.

"Umi, abi, mama, papa. Maafin caca yang belum ngasih kabar. Caca"
"Udah sayang. Nggak usah minta maaf. Kamu pasti juga butuh kekuatan lebih untuk menghadapi hal ini."
Mama bicara. Aku terdiam.

"Nak, semua musibah yang datang adalah kehendakNya. Kita harus ikhlas menghadapinya."
Abi yang bicara. Aku mengangguk dan menghapus air mata yang sudah siap untuk jatuh.
Masih belum siap menerima kenyataan tentang kecelakaan bang fatjhan.

"Masalah resepsi, sebagian papa sama abi udah kontak mereka yang udah kebagian undangan. Mereka maklum kok. Kita harus tunggu semuanya menjadi baik baik saja ya sayang."
Aku mengangguk kembali saat tangan umi membelai kepalaku.

Aku benar benar tidak tau harus melakukan apa saat ini. Yang bisa aku lakukan hanyalah menunggu bang fathan bangun meski aku tidak tau itu kapan.

"Umi, abi, mama, papa. Lebih baik beristirahat terlebih dahulu. Kasian kan nanti kecapek an. Biar havva yang nemenin caca. Kebetulan havva lagi gak ada shift malam."
Aku baru menyadari bahwa jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh.

"Umi disini aja deh kayaknya."
Umi menyela

"Mama juga lah nemenin kalian."
Aku hanya mematung. Merasa terpukul dengan semua yang terjadi. Aku meletakkan tanganku kedalam genggaman bang fathan. Dingin.

"Nggak usah lah mi, besok aja kesini lagi."
Abi yang bicara.

"Iya ma, kayaknya caca lagi mau nemenin fathan malam ini."
Sekarang giliran papa.
Mama dan umi saling pandang, kemudian mereka berdua mengangguk

"Iya deh, besok kami kesini lagi ya ca, va."
Aku mengangguk dan memaksakan untuk tersenyum.

"Kalau ada apa apanya langsung telfon kami ya nak."
Aku mengangguk lagi.

"Hati hati abi, papa bawa mobilnya."
Havva berusaha mencairkan suasana.

"Iya nak. Kami pulang dulu. Assalamualaikum."
Papa mewakili semuanya.

"Walaikumsalam."
Havva menjawab seraya melambai.

"Walaikumsalam."
Aku hanya menjawab dalam hati.

Detik selanjutnya ruangan sepi. Yang terdengar hanyalah suara monitor mesin pendeteksi detak jantung bang fathan.

"Va."
Aku ingin menanyakan keadaan bang fathan kepada havva.

"Iya ca."
Havva menjawab.

"Keadaan bang fathan, bagaimana?"
Aku bertanya tanpa melihat kepada havva.
Aku sibuk mengelus tangan kanan bang fathan.

"Abangmu baik baik saja ca."
Mataku memanas. Mana mungkin bang fathan baik baik saja saat ini. Jikalau dia baik bukan disini tempatnya sekarang.

"Va aku istrinya. Aku berhak mengetahui keadaan suamiku."
Aku mulai menangis lagi.
Havva menghela nafas.

"Berjanjilah untuk kuat dalam menghadapi kenyataan, aisyah."
Aku mengangguk pelan meski belum memastikan bahwa aku akan sanggup mendengar apapun penjelasan yang akan diberikan havva selaku dokter yang menangani bang fathan.
Havva menghela nafas sekali lagi.

"Kecelakaan yang dialami fathan disebabkan oleh kecepatan mobilnya terlalu tinggi. Saat itu dia tidak menyadari bahwa ada seorang anak yang sedang menyebrangi jalan, makanya fathan langsung banting stir. Anak itu tidak apa apa. Fathan lah yang mengorbankan keselamatannya."
Aku memang belum mengetahui kronologi kejadian kecelakaan bang fathan.

"Kepala bagian depan fathan terbentur keras ke stir. Mengakibatkan tulang kepalanya retak. Sehingga dia harus memastikan tulangnya benar benar menyatu sempurna sebelum keluar dari rumah sakit."
Aku menutup mulutku tidak percaya.

"Beruntung kepala bagian belakang fathan tidak kenapa napa. Otak terdapat pada kepala bagian belakang yang apabila itu terganggu, maka akan berakibat fatal."
Havva melanjutkan bicaranya.

"Jadi, kepala fathan sudah diatasi. Retaknya tidak terlalu parah jadi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk proses penyembuhan. Saat ini fathan sedang mengalami masa masa istirahat total. Tidak lama. Palingan hanya dua minggu."
Aku menatap havva

"Dua minggu caca nggak bisa ngomong sama abang berarti?"
Mataku kembali memanas.

"Ya begitulah sayang."
Havva menatapku iba.
Aku menangkupkan tanganku, berharap aku mampu menjadi gadis dewasa sekarang.

"Kabar baiknya, fathan telah melewati masa kritisnya."
Aku mendongak cepat.

"Jadi kita hanya perlu menunggu fathan bangun."
Aku mengangguk.

"Kamu akan melewatinya bersamaku caca. Kamu tidak sendiri.
Aku tersenyum memandang havva.
Bersyukur bisa memiliki keluarga berhati mulia seperti havva.

"Terima kasih havva."
Ucapku tulus.

"Tidak masalah caca."
Havva tersenyum.

"Nanti caca kalau mau tidur di sofa itu aja, aku akan siapkan."
Aku tersenyum lagi.

"Makasih va."
Havva tersenyum

"Sholat maghrib dulu ya."
Ucapan havva sontak membuatku langsung melirik ke jam dinding yang ada diruangan bercat putih ini.

"Iya va."
Aku mengambil wudhu sementara havva pamit mengganti pakaiannya terlebih dahulu.
Karena gerah, aku memutuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum melaksanakan shalat maghrib.


Havva pov.
Aku benar benar tidak kuat melihat caca menangis.
Meski aku belum pernah berada pada posisi caca, pasti caca merasa sangat terpukul saat ini.
Lebih lebih lagi mereka akan melaksanakan resepsi pernikahan.
Tentu saja itu semua akan diundur mengingat fathan yang harus istirahat total.

Setelah berpamitan pada caca, aku memutuskan mandi di kamar mandi ruanganku.
Lalu pergi kekantin sebentar untuk membelikan caca sebungkus nasi goreng.
Aku yakin sekali caca belum makan.
Ah, aku sungguh kasihan.

"Permisi, maaf saya numpang bertanya."
Merasa ada orang yang berbicara padaku, aku berbalik.

"Eh, havva?"
Aku terbelalak saat melihat si ganteng kak azzam ada didepanku.

"Eh, iya kak azzam. Ada yang bisa havva bantu?"
Aku berusaha senormal mungkin.

"A begini. Saya mau mengganti kacamata saya. Sebenarnya janjiannya tadi siang. Tapi saya baru bisa sekarang. Dokter matanya ada sekarang?"
Kak azzam menunjukkan nama dokter yang tertera pada kertas yang ia pegang.

"Kalau yang ini batas prakteknya jam 4 tadi kak, sekarang nggak ada. Mungkin kakak bisa datang kesini lagi besoknya."
Aku memberikan penjelasan.

"Aaa begitu. Baik baik."
Kak azzam melipat kertas yang tadi diperlihatkan.

"Havva kerja disini?"
Aku mengangguk cepat.

"Kak, havva duluan ya. Ada yang nungguin ini."
Aku mengangkat bungkusan nasi goteng untuk caca.
Meskipun bertemu kak azzam adalah suatu keberuntungan banget banget, aku tidak mungkin melupakan caca begitu saja dalam keadaan lapar.

"Iya iya silahkan. Terimakasih banyak havva."
Aku mengangguk dan tersenyum

"Assalamualaikum kak."
Aku mengucap salam dengan hati yang masih berbunga bunga.

"Walaikumsalam havva."
Aku tersenyum sambil berlalu medengar salamku dijawab oleh kak azzam.

____________________________________________


Teman Menuju Syurga (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang