83| Perlahan tapi Pasti

318 26 2
                                    

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••


"Ya Allah, benahilah agamaku yang menjadi benteng urusanku. Benahilah duniaku yang menjadi tempat kehidupanku. Benahilah akhiratku yang menjadi tempat kembaliku. Jadikanlah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan, dan jadikanlah kematian sebagai kebebasan dari segala keburukan."

(HR. Muslim)

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

"Kamu sudah yakin dengan keputusan ini?"

"Sudah. Setidaknya aku masih bermanfaat bagi orang lain. Lagipun aku sudah memiliki anak, naluriku sebagai perempuan bergelora membayangkan bagaimana reaksi perempuan itu saat sadar. Dia masih muda, aku kasihan melihatnya."
Aku tetap kukuh dengan pendirianku.

Jika saat ini di carikan pendonor rahim, aku rasa susah sekali. Siapalah yang ingin memberikan rahimnya kepada orang lain.

"Mendadak sekali.Berfikirlah terlebih dahulu. Apakah kau tidak takut dengan bahaya dan resikonya?"
Aku rasa keinginanku masih di ragukan.

"Aku sudah berfikir. Bahkan aku sudah membawakannya ke dalam sholatku. Dan aku sudah mantap untuk melakukan hal ini"

"Baiklah. Aku dengar operasi pengangkatan rahim di lakukan lusa. Nanti kita bicarakan dengan dokter yang menangani masalah ini."

"Tapi aku mohon. Jangan beri tahu siapapun bahwa aku adalah pendonor rahim untuknya. Biarlah semua berjalan seperti semestinya dan biarkan semua tau dengan sendirinya."
Aku berpesan.

"Baiklah. Kita akan merahasiakannya."

###

Havva pov.
"Than. Gua keluar bentar ya. Mau liat keadaan UGD dulu, ntar gua lalai dengan tanggung jawab gua."
Aku undur diri.

"Iya gapapa. Gua disini kok."
Tinggal lah fathan sendirian.

Mama dan umi baru saja pulang
Maksudku, aku meminta mereka untuk pulang.
Karena mereka juga butuh mandi, makan dan istirahat.
Semalam mereka sudah menginap dan itupun tertidur dengan posisi duduk.

Abi dan papa sudah berangkat kerja.
Semua berjalan normal, kecuali fathan yang tak berhenti menangis.
Aku benar benar khawatir dengan keadaannya.

Sebenarnya aku bukan pergi ke UGD.
Aku ingin menemui dokter thifa. Dokter kandungan caca.
Sengaaja ingin bertanya ada apa sebenarnya yang terjadi pada caca
Barangkali saja keadaan caca sudah tergambar sewaktu dia kontrol.

Tok tok tok.

Diam.

Aku tak mendengar jawaban apapun dari dalam ruangan.
Kemana dokter thifa?
Ini kan belum jadwal makan siang.

"Eh, permisi suster. Saya mau nanya ini dokter thifa kemana ya?"
Aku bertanya pada seseorang yang aku tau dia adalah bagian informasi di rumah sakit ini.

Teman Menuju Syurga (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang