85| Operasi

365 24 9
                                    

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

"Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat."

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

"Jadi sebelum isya kita udah sampai di sana. Isyanya biar di ruang operasi aja biar nggak telat."
Aku memasukkan semua keperluan keperluan yang mungkin akan di butuhkan selama di rawat di rumah sakit.

Menurut dokter tempat aku periksa kemaren, proses pemulihan aku akan lebih cepat di bandingkan pemulihan penerima donor karena aku tidak memiliki riwayat penyakit lain.
Lagi pula, penerima donor memiliki fisik yang lemah sehingga harus membutuhkan waktu yang lama dalam proses pemulihan.

"Kali ini aku tanya untuk terakhir kali deh, kamu udah yakin dengan keputusan kamu?"
Ternyata keputusanku masih di ragukan.

"In sya allah. Hati aku sudah mantap seratus persen ingin mendonorkan rahim aku ke aisyah. Itung itung sebagai amal jariah untukku."
Aku meyakinkan dengan memantapkan hati.

"Kenapa? Nggak boleh?"
Aku bertanya.

"Bukannya gak boleh. Aku bangga aja. Kamu baik banget sama orang lain. Padahal kàn resikonya juga besar buat diri kamu sendiri."
Aku tersenyum.

"Semoga bermanfaat bagi penerima."
Aku menutup koper kecil yang akan aku bawa ke rumah sakit.

"Pokoknya kita harus masuk ruang operasi duluan sebelum pasien masuk agar identitas kita nggak jelas."
Aku menerangkan rencana yang akan aku lakukan.

"Lambat laun juga akan ketahuan kok."
Aku tertawa singkat.

"Iya walaupun."
Aku memandang keluar jendela.
Semoga operasi nanti malam berhasil.
Untukku dan juga aisyah.

Fathan pov.
"Iya mi, fathan juga nggak tau siapa pendonornya. Kemaren dokter itu masuk dan menjelaskan tawarannya. Fathan dan havva langsung ambil mi."
Aku dan umi sedang duduk di kursi tunggu. Aku, umi, abi dan havva sedang menunggu proses operasi caca yang sudah berlangsung sejak setengah jam yang lalu.

"Tapi, biayanya berapa nak?"
Kali ini abi yang bertanya.

"Masalah biaya tidak perlu kita pikirkan abi. Ada havva, ada umi, ada abi, fathan dan mama papa. Kita akan terus sama sama ngobatin caca."
Havva menjawab cepat.

Abi dan umi tersenyum.

"Operasinya berapa lama kira kira?"
Umi bertanya kepadaku.

"10 jam mi. Biasanya 10 jam."
Havva yang menjawab.

Apa? 10 jam?
Wah, lama juga ya.

Ya allah selamatkan lah istri hamba ya allah.
Berikan dia kekuatan dalam menghadapi operasi dan hamba mohon lancarkanlah operasinya ya allah.
Karena hanya kepadaMu hamba memohon dan meminta pertolongan.

Aamiin.

Aku terus berdzikir dan berdoa kepada allah agar operasi caca di lancarkan dan caca bisa kembali bersama kami.

"Mama kamu udah di kasih tau nak?"
Abi mengalihkan fokusku yang awalnya menunduk.

"Udah bi. Tadi udah fathan kasih tau."
Abi mengangguk.

Lama kami duduk di ruang tunggu.
Havva yang sering bolak balik ke UGD karena dia memantau keadaan di UGD.
Aku sudah menyarankan agar havva stay saja karena operasi caca akan selesai subuh jika memang benar 10 jam.
Tapi havva menolak karena dia tak ingin ketiduran selama di UGD.
Dia keuh keuh ingin tetap menemaniku menunggu caca selesai operasi.

Sekarang sudah pukul 12.
Mataku sama sekali tidak mengantuk. Fokus menunggu dokter keluar dari ruangan yang ada di depanku ini.

"Umi, abi. Kalau capek umi sama abi istirahat aja di mushola samping rumah sakit ini mi, bi. Nanti umi sama abi kecapek an."
Aku menyarankan kepada umi dan abi karena mereka sudah tampak letih sekali.
Apalagi abi, sesekali beliau terangguk angguk karena tidur salam posisi duduk.

"Nggak apa apa nak. Nanti kalau ada apa apanya umi sama abi nggak ada dekat kamu. Kita nunggu sama sama aja."
Umi mengelak.

"Iya. Lagian havva nggak stay di sini. Nanti kamu tinggal sendirian than."
Abi menambahkan

"Nggak apa apa abi. Rumah sakit ini rame terus kok sama petugas petugas yang lagi jaga malam.
Kasian fathan liat abi terantuk antuk kayak gitu, abi pasti lelah banget."
Aku memberikan penjelasan.

Abi tersenyum.

"Nak, sejauh ini kamu sudah baik menjalankan peranmu sebagai seorang suami. Abi tau kamu pasti merasa bersalah bukan? Entah itu pada abi atau pada dirimu sendiri karena merasa gagal dalam menjaga aisyah dan menjalankan peranmu."
Aku tertunduk. Abi benar benar membaca pikiranku. Sebenarnya sudah sejak lama aku ingin meminta maaf kepada abi karena aku memang merasa gagall dalam menjalankan peran.

"Tapi, sejauh ini abi adalah orang yang paling bersyukur karena memiliki menantu sepertimu nak. Abi nggak pernah merasa kamu gagal dalam menjaga aisyah. Ini semua adalah ujian. Dan ujian itu datangnya dari Allah. Untuk menguji sejauh mana kamu dan aisyah bisa bertahan dan bersabar. Tidak ada yang bisa di salahkan dalam hal ini nak."
Abi mengelus punggungku, wajahku semakin tertunduk.

"Kau lihat, pertolongan allah itu cepat sekali datangnya. Bahkan ada seorang dermawan yang mendonorkan rahimnya kepada caca tanpa menyuruh kita memikirkan masalah biaya."
Aku mengangguk.

"Jadi, jangan kau merasa gagal fathan. Semua milik allah. Dan akan kembali pada allah. Benar kan umi?"
Abi meminta persetujuan umi.

"Iya fathan. Umi sama abi sedikitpun nggak marah kok sama fathan. Fathan itu sudah kami anggap seperti anak, bukan menantu.
Kamu dan caca tumbuh bersama, jadi jangan merasa bersalah ya nak."
Hatiku benar benar tersentuh mendengar penjelasan dari umi dan abi.

Awalnya aku mengira aku lah yang paling bersalah dalam kasus ini karena memang aku tidak menjalankan peranku karena terlalu fokus bekerja.
Memang hasi pekerjaanku di gunakan untuk memberikan nafkah dan memenuhi kebutuhan caca, tapi tanggung jawabku sebagai seorang suami bukan hanya sekedar memberi nafkah.

Tapi ternyata aku salah.
Umi dan abi yang awalnya adalah orang yang paling aku takuti karena kelalaianku, ternyata adalah orang yang paling mengerti dengan situasiku bahkan mampu membaca pikiranku.
Memahami suasana hatiku dan malah ikut menenangkanku.

Terima kasih ya allah.

"Makasih umi abi, fathan nggak tau gimana mau berterima kasih kepada umi dan abi. Makasiih banget ya mi, bi. Jujur fathan takut sama abi sama umi. Takut banget. Tapi ternyata fathan salah."
Aku menghapus air mataku.

"Ah udah udah. Apaoin yang akan terjadi, fathan nggak akan sendiri menghadapinya. Meski caca adalah tanggung jawab fathan, kita semua akan selalu ada buat melalui ini sama sama. Ya nak ya."
Fathan mengelus punggungku.

"Iya bi, makasih banyak ya bi."
Aku berterima kasih dengan sangat.

Abi tersenyum tulus.

"Eh ini ada apa nangis nangis? Caca kenapa?"
Havva tiba tiba datang dari arah belakang

"Nggak ada apa apa. Kepo aja."
Aku langsung menjawab cepat sebelum di cemeehkan.

_________________________________________

Teman Menuju Syurga (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang