64| Berkunjung

358 28 0
                                    

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Semoga kamu dan segala keputusanmu bahagia.
Bahagiaku cukup silaturahmi antara kita tidak pernah terputus.
Doakan aku menyusulmu untuk menyempurnakan keimananku.

-Said Asla' Muazzam-

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Azzam pov.
Aku dengar suaminya caca masuk rumah sakit karena kecelakaan. Aku mendapat beritanya dari havva dua hari yang lalu saat aku menjemput kacamata ke rumah sakit.
Hari ini aku memutuskan untuk menjenguk fathan. Iya.
Fathan kalau aku tidak salah namanya.

Tapi aku takut harus pergi sendiri. Nafa adekku juga pastinya sibuk di butik mengurus pesanan pelanggan.

Aku mengambil ponselku untuk menelfon nafa.
"Assalamualaikum dek."
Aku memulai.

"Walaikumsalam kak, bentar kak. Nafa kasih kembalian uang dulu."
Aku mengerti. Nafa pastilah sedang sibuk saat ini.

Sekitar dua menit aku menunggu
"Kak, ada apa?"
Aku mendengar suara nafa lagi.

"Hmm, banyak pelanggan?"
Aku urung menyampaikan niatku kepada nafa untuk minta ditemani menjenguk fathan.

"Iya kak, tapi kalau ada yang mau disampein nafa dengerin kok."
Aku memikir mikir.

"Hmm, kakak mau minta nomor telfonnya havva. Apakah kamu punya?"
Aku yakin nafa menyimpan nomor havva.

"Wah, ada kak. Kakak suka kak havva?"
Pertanyaan nafa membuatku terkejut.

"Astaghfirullah. Ngomong apa sih dek?"
Aku beristighfar.

"Hehe, soalnya.. eh bentar ya kak, ada yang dateng. Nanti nafa kirim. Udaah, assalamualaikum."
Nafa menutup telfon.

"Walaikumsalam adek."
Aku geleng geleng dibuatnya.

Aku mempersiapkan diri untuk pergi ke rumah sakit. Barangkali saja havva ada waktu luang dan mau mengantarku ke kamarnya fathan.

Ting.

Ada pesan masuk.
Benar saja, dari nafa.
Nafa mengirimiku nomor havva, tapi tidak apa apakah jika aku menelfon havva?

Aku bimbang sendiri jadinya. Tak mungkin aku menemui caca dan suaminya sendirian, bisa jadi aku canggung menghadapi mereka, bisa jadi caca sudah menceritakan keoada suaminya bahwa aku pernah melamarnya.

Akhirnya ku putuskan untuk menelfon havva. Semoga saja dia tidak sibuk dan mau menemaniku.

"Ehm, assalanualaikum."
Aku memulainya.

"Iya walaikumsalam. Dengan havva ada yang bisa di bantu?"
Awalan yang baik, batinku.

"Iya ada, havva ini kak azzam. Masih ingatkah?"
Aku memastikan.

Diam.
Masih diam.

"Halo?"
Aku memastikan apakah sambungan telfonnya masih ada atau sudah dimatikan

"Eh iya halo."
Aku masih mendengar suara havva

"Masih ingat dengan saya havva?"
Aku mengulangi pertanyaan yang sama.

"Masih kak, kakaknya nafa kan kak?"
Havva sopan.

"Eheh, iya havva. Saya kakaknya nafa."
Aku jadi canggung sendiri. Mungkin karena tidak terlalu sering berbicara denfan perempuan. Apalagi via telfon.

Teman Menuju Syurga (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang