78| Semangat

279 24 0
                                    

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Rasulullah SAW bersabda:

"Hiduplah sesukamu maka sesungguhnya kamu akan mati. Cintailah sesuatu sesukamu maka sesungguhnya kamu akan berpisah. Berbuatlah sesukamu maka sesungguhnya kamu akan bertemu dengannya."

Hadits riwayat Hakim

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

"Jadi abang nggak bisa nemenin kamu kali ini sayang. Mendadak banget, kemaren mereka bilang akan datang dua hari lagi. Ternyata sekarang. Jadi nggak bisa lagi dong abang nemenin kamu."
Aku tersenyum mendengar keluh kesah bang fathan di telfon.

"Nggak apa apa abang. Kan caca masih bisa minta temenin sama havva. Tadi dia nelfon tanyain sama siapa caca pergi. Katanya kalau abang nggak bisa dia akan jemput sih."
Aku menjelaskan lagi.

"Ini udah bulan ketiga loh sayang. Bulan kemaren abang juga nggak bisa. Kamu nggak apa apa kan sayang?"
Aku tersenyum lagi.
Memang, setelah memasuki usia bulan ke tiga, bang fathan belum pernah menemaniku kontrol rutin ke dokter karena selalu saja ada halangan tepat di hari dimana aku akan pergi.

Aku maklum saja karena memang bukan keinginan bang fathan. Kadang kami sudah merencanakannya, tapi ya begitulah.
Kuta hanya bisa merencanakan. Allah lah yang memberikan keputusan apa yang akan diberikan Nya.

"Nggak apa apa kok sayang. Fokus aja kerjanya yah, nanti apapun hasilnya akan caca kasih tau deh."
Aku senang sekali di telfon bang fathan siang ini. Meskipun dia memberitahuku berita yang sebenarnya tak ingin aku dengar, tapi tak apa. Aku masih bersyukur karena di berikan suami yang bertanggung jawab dengan kebutuhan istrinya.

Aku menutup telfon bang fathan dan lanjut menelfon havva.

"Va, bang fathan mah gak bisa pergi jadinya."
Aku menuruti intruksi havva beberapa waktu lalu yang menyuruhku untuk menelfonnya apabila bang fathan tidak bisa menemaniku ke dokter.

"Waduh ca, ini mau ada operasi korban kecelakaan. Aku juga ga bisa deh kayaknya. Tapi kalau lu bisa pergi dengan supir pribadi lu, gua tunggu di rumah sakit deh."
Aku menghela nafas.

"Iya deh va, aku kesana bareng supir aja. Lanjut dulu deh. Maaf gangguin ye. Assalamualaikum."
Aku menutup telfon havva.

Ah, kurasa aku harus pergi sendiri sekarang.

.

Aku mencek jam yang sudah di tentukan dokter thifa.
Jam 10 dan sekarang sudah pukul 09.55

Aku langsung masuk ke dalam runah sakit tanpa menelfon havva terlebuh dahulu.
Sudahlah, aku tak mau lagi merepotkan perempuan itu.
Lagian aku juga masih bisa sendiri untuk mengurus diriku dan baby yang ada di dalam perutku ini.

"Aman ya ca. Janin kamu sehat."
Aku tersenyum lega saat mendengar dokter thifa memberitahuku tentang keadaan si kecil dalam perutku ini.

"Alhamdulillah. Makasih dokter."
Aku berterimakasih.

"Sayang ya, ayahnya gak nongol nongol buat nemenin kontrol. Padahal ini udah bulan ke tiga."
Aku menemukan tatapan aneh dari dokter thifa.

"Ah, hehe. Ayahnya lagi ada urusan mendadak dokter. Makanya gak bisa."
Aku menjelaskan dan berusaha menutupi sedikit kekecewaan. Siapa saja pasti kecewa jika dalam posisiku ini bukan?

"Haha, iya. Laki laki memang seperti itu."
Tingkah laku dokter thifa kali ini membuatku sedikit heran.

"Oh iya. Saya mau tanya sedikit boleh?"
Aku mengangguk.

"Kamu kenapa tidak kuliah? Saya lihat dalam data diri, kamu tidak melanjutkan kuliah."
Pertanyaan yang tidak asing bagiku.

"Karena saya sudah dilamar waktu tamat SMA dokter. Saya juga ingin menjadi wanita sesungguhnya untuk mengurus anak dan suami saya."
Aku meringkas jawaban yang sebetulnya panjang itu.

"Sayang sekali ya. Kamu tidak bisa merasakan perkuliahan dan hamil di usia muda. Suami pun tak menemanimu kontrol"
Perkataan dokter thifa menohok ku.

Apakah pantas itu ditanyakan oleh dokter kandungan kepada pasiennya?

"Maaf dokter, saya.."
Aku ingin menjawab.

"Oh tidak tidak. Saya hanya bertanya saja. Jangan tersinggung."
Dokter thifa kembali tersenyum meski aku merasakan ada sesuatu yang aneh.

"Oh ya. Saya ingin memberitahumu untuk mengonsumsi vitamin. Sepertinya kau mudah sekali lelah bukan?"
Ucapan dokter thifa dengan seringainya.

"Vitamin seperti apa dokter?"
Aku meninta saran. Aku memang mudah sekali merasakan kelelahan.

"Mifepristone. Aku tak menyuruhmu untuk membeli itu aisyah. Aku hanya menjawab pertanyaanmu. Kau bisa mendapatkan itu di apotik."
Aku berusaha mengingat ingat nama vitamin yang di sarankan dokter thifa.

"Kau yang lebih tau vitamin apa yang cocok untuk dirimu sendiri. Aku tak mau mengambil resiko. Jadi terserah mau minum vitamin apa.
Kontrol selesai."
Aku masih terheran heran.
Kenapa pelayanan dokter thifa tiba tiba tidak baik pada bulan ini.
Padahal bulan sebelumnya dia baik baik saja.

Aku cepat cepat menepis pikiran burukku. Mungkin saja dokter thifa ada masalah pribadi.

Aku memutuskan untuk membeli vitamin yang ďi sarankan oleh dokter thifa untuk aku konsumsi.

"Pak, caca boleh minta tolong nggak?"
Aku meminta tolong pada pak supir saja. Karena di luar panas.

"Beliin caca obat ini ya."
Aku memberikan kertas yang sudah ku tuliskan dengan nama obat yang aku dengar dari dokter thifa dan selembar lima puluh ribuan.

"Baik non."
Aku menunggu pak supir membelikannya.

"Ini obatnya non"
Wah, sebentar ternyata.

Aku memperhatikan obat yang diberikan. Berbentuk pil, namun di masukkan ke dalam plastik sehingga tidak ada cara mengonsumsinya.

"Gimana cara makannya pak?"
Aku menanyakan pada pak supir, barangkali pak supir lupa memberitahuku.

"Katanya kalau tujuan udah tercapai lekas hentikan non."
Aku terheran. Di hentikan?

"Baik pak. Makasih pak."
Aku tak bertanya lagi.

Sesampainya di rumah, aku langsung meminum vitamin yang baru saja aku beli.

Aku membuka aplikasi line di ponselku dan mengetik sesuatu untuk abang.

"Sayang, kontrolnya udah selesai. Dokter itu bilang janinnya sehat."
Aku tersenyum memberitahu bang fathan masalah ini.

Bang fathan tak langsung membaca pesanku karena aku tau mungkin dia sedang sibuk. Makanya aku hanya mengabarinya lewat pesan line saja karena takut ganggu seandainya aku memberitahunya lewat telfon.

Lanjutnya, aku memutuskan untuk memasak untuk nanti malam.
Oh ya, aku tak lagi memasak makan malam pada sore hari karena bang fathan melarangku.

Bang fathan over protektif selama aku hamil.
Dia benar benar menjagaku dari kelelahan.
Bang fathan juga menjaga pola makanku dan memenuhi keinginanku apabila aku sedangan mengidamkan sesuatu.
Perfect banget lah pokoknya.

Pernah waktu itu aku menginginkan jeruk sankis pukul 2 pagi. Sementara persediaan sankis di rumah sudah habis.
Bang fathan bela belain kerumah mama buat jemput sankis yang kebetulan mama sedang memiliki stock.

Aku bersyukur karena sampai saat ini aku tak merasakan kesulitan kesulitan dalam masa kehamilan.
Dukungan abang, umi dan mama serta havva selalu menyemangati.

Aku mengusap perutku yang mulai membesar dan berdoa kepada allah agar dilancarkan hingga persalinan.

_________________________________________

Holla🤗
Jangan lupa vote gais🥰

Teman Menuju Syurga (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang