52| Ikhlas

395 39 3
                                    

Aisyah pov.
Setelah selesai mandi dan mengganti pakaian dengan pakaian yang sengaja aku bawa dari rumah, aku keluar kamar mandi berencana untuk menyelnggarakan shalat maghrib.

"Udah balik aja va?"
Aku melihat havva sudah bertengger diatas sova.

"Udah ca. Barusan abis shalat."
Aku mengangguk.

"Aku shalat dulu ya."
Havva mengangguk.

Sebelum mengangkat takbir, mataku melihat sebentar kearah bang fathan.
Namun bang fathan masih nyenyak dalam tidurnya.
Aku menghela nafas. Berat.

Setelah selesai salam aku bermohon kepada allah agar semuanya terasa mudah meski hati sedang gundah.
Aku bermohon agar bang fathan lekas bangun dan bisa kembali berkumpul bersama kami lagi.

"Ca, makan dulu ya. Tadi aku ada beliin nasi goreng dibawah."
Aku melihat kearah havva.

"Ngga deh va. Kamu makan aja."
Aku mengelak bukan karena apa. Memang aku yang sedang tidak bernafsu untuk makan saat ini.

"Ca, fathan akan tambah sakit jika ngeliat perempuan kesayangannya ikutan sakit."
Hatiku teriris mendengar penjelasan havva.

"Udah malem loh ca. Kamu belum makan. Kita makan bareng ya."
Lagi lagi aku menghela nafas dan mengangguk.

Aku memakan nasi goreng yang dibawakan havva dengan diam.
Mataku sesekali mengawasi bang fathan yang sampai saat ini masih betah dengan tidurnya.

"Ca, tadi aku ketemu kak azzam."
Fokusku tak beralih dari bang fathan. Menurutku bang fathan adalah yang terpenting dalam kondisi saat ini.

"Iya? Dimana?"
Aku menyuapkan nasi goreng kemulutku.

"Dia lagi nyari dokter mata. Tapi dokter mata yang dia cari itu udah pulang."
Aku mengangguk.

"O iya ca, ini handphone fathan yang tadi dikasih sama orang yang nganter dia kesini."
Aku menerima hp bang fathan. Masih utuh dan tidak ada apa apanya dibanding pemiliknya yang sedang terbaring sakit.
Ah, aku harus ikhlas menerima semua ini

"Makasih va."
Havva mengangguk.

"Va."
Aku menatap havva.

"Ada apa tuan putrinya fathan?"
Aku tersenyum ketika havva mencoba mencairkan suasana.

"Bang fathan pas bangunnya gak amnesia kan?"
Pertanyaan itu tiba tiba terlintas dalam benakku.

"Ah in sya allah tidak. Kan kepala bagian belakangnya aman. In sya allah semuanya juga aman. Sekarang ini kita hanya menunggu fathan bangun saja. Semua akan baik baik saja jika tuan putri menunggu pangerannya bangun dengan sabar."
Tawaku sedikit terundang.

"Makasih va."
Lagi lagi aku bersyukur bisa menjadi keluarga dengan orang sebaik havva.

"Ca."
Aku melirik.

"Bagaimana cara kita menetralisir hati kita yang tiba tiba berdesir ketika bertemu seseorang."
Aku mengangkat alis mataku sebelah.

"Siapa va?"
Aku langsung konek.

"Kak azzam."
Jawab havva singkat

"Hah?"
Aku terkejut .

"Ah biasa aja kali lah. Semua cewek pasti juga akan terlena dengan senyum manis tuh ustadz."
Aku menutup mulutku tertawa.

"Kamu suka?"
Havva mengangguk. Itu membuatku sedikit terhibur.

"Iya. Padahal baru tadi ketemu."
Aku mengangguk angguk.

Aku mendengar bunyi getaran hp yang berasal dari saku bajunya havva.

"Angkat telfon dulu ya."
Aku mengangguk dan havva keluar dari kamar bang fathan.
Aku menatap bang fathan dari kejauhan.
Melihat laki laki yang biasanya dipenuhi oleh senyum senyum menenagkan sekarang tertidur nyenyak.

Aku mendekati tempat tidur bang fathan.
Duduk dikursi sebelah ranjang dan menggenggam tangan kanan bang fathan.

"Abang, tidurnya jangan terlalu lama ya. Caca kangen sholat bareng abang. Caca kangen diimamin sama abang."
Aku mengecup pipi bang fathan. Singkat.

"Ca."
Aku memegang dadaku yang tiba tiba terkejut karena havva masuk tiba tiba.

"Astaghfirullah havva. Jantungku melorot nih."
Aku benar benar terkejut dibuatnya

"Tau nggak siapa yang barusan nelfon?"
Aku menggeleng dengan polosnyan

"Nafa."
Aku mengerenyitkan dahiku.

"Kenapa? Kan bajunya udah caca ambil?"
Seingatku babg fathan juga sudah membayarnya tadi.

"Bukan masalah baju cacakuu."
Aku mengangguk angguk meski tidak paham.

"Lalu?"

"Kak azzam."
Havva menjawab cepat.

"Kenapa dengan kak azzam?"
Aku bertanya lagi

"Aduh caa... ini sumpah aku deg deg an banget." Havva histeris.

"Iya iya tapi kenapa dulu?"
Aku masih heran dengan tingkah havva yang tiba tiba aneh.

"Kak azzam nanyain aku."
Havva mengibas ngibaskan tangannya di depan wajahnya.

"Nanyain gimana maksudnya?"
Aku masih penasaran.

"Jadi tadi kak azzam baru nyampe rumah kan mbak, dia nanyain aku kenal apa nggaknya sama mbak havva. Trus dia bilang dia kagum aja mbak havva ternyata seorang dokter. Gitu si nafa bilang."
Aku bisa melihat reaksi wajah havva memerah secara drastis.

"Aaaa, ca. Duh gimana nih."
Aku tertawa kecil.

"Doa aja deh. Mudah mudahan bentar lagi ngelamar kamu."
Ucapanku membuat havva mengaminkan doa secara berulang ulang.

"Va, nanti kalau mau tidur, diruangan kamu aja atau pulang. Aku akan jagain bang fathan."
Aku berkata demikian karena aku yakin havva pasti sudah letih.

"Ngga. Aku mau nemenin kamu."
Aku tersenyum.

"Gak usah va. Aku mau nemenin bang fatahan. Nanti janji deh kalau ada apa apa kamu duluan yang bakalan aku telfon."
Aku tersenyum.

"Hmm, iya deh. Aku diruangan aja."
Aku mengangguk.

"Eh iya. Aku belum isya. Aku sholat ya diruangan."
Benar saja. Havva sudah menguap.

"Iya. Makasih ya udah bantuin abang."
Havva membalas dengan tersenyum.

"Aku yang berterima kasih. Dari kamu, aku belajar ternyata wanita itu benar benar tulus mencintai lelakinya."
Aku tersenyum lagi.

"Duluan ca."
Havva berlalu.
Yang tinggal hanyalah aku bersama bang fathan yang membisu.
Setelahnya aku melaksanakan shalat isya, selain menunaikan kewajiban aku juga bermohon agar allah menyembuhkan bang fathan.

Abang, caca kangen :(

____________________________________________

Jumpa di part selanjutnya gais😁
Jangan lupa vote nya yaa

Teman Menuju Syurga (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang