93| Cerita

308 25 0
                                    

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Bertahun tahun bukanlah hal yang sulit bagiku untuk menyimpan rindu. Semua tersa begitu mudah dan aku menikmati peranku waktu itu.

Tapi sekarang, aku lebih susah dalam mengendalikan semuanya termasuk pemikiran terhadap kamu.
Bahkan jemariku terlalu kaku untuk menuliskan permintaan tentang sebuah temu,
Padahal aku tau semesta belum memberikan waktu.

Author.

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

"Waktu itu, awalnya caca pergi kontrolnya baik baik aja. Semuanya baik seperti bulan bulan sebelumnya.
Caca di anterin supir waktu itu karena abang lagi ada acara mendadak.
Nah caca pergi bareng pak supir.
Terus sesampainya di dalam ruangan dokter thifa, dia agak sensi gitu.
Waktu itu caca maklum karena mungkin dokternya lagi PMS atau lagi ada masalah mungkin.
Jadi caca hanya diam aja waktu dokter itu ngoceh."
Aku dan fathan mendengarkan penjelasan caca dengan seksama.
Barangkali terselip sebuah kejanggalan yang membuatku menemukan titik terang kenapa caca meminum obat terlarang itu.

"Ngoceh gimana maksudnya sayang?"
Fathan menyela.

"Yaa, gak ngoceh sih bang. Cuma waktu itu dokter  itu nanya nanya kok udah mau tiga bulan gak pernah dateng bareng ayahnya. Kok ayahnya gak luangin waktu buat anaknya. Nah gitu gitu lah pertanyaannya. Terus nanyain juga kenapa caca milih nikah muda. Sempat heran caca sebelumnya kok pertanyaannya melenceng gitu, kan sebelum sebelumnya dokter itu baik banget ke caca. Selalu nyaranin ini itu buat bayi caca."
Aku menatap ke arah fathan.
Sudah jelas sekali bahwa hanum menyukai fathan dan mencari fathan.
Ya jelaslah dia benci ke caca, toh dia mau jadi pelakor juga.

"Terus, dia bilang apalagi?"
Aku mendesak

"Gak ada, itu aja. Terus dokter itu ngasih beberapa saran yang lebih baik agar bayinya sehat. Itu aja"
Caca menjelaskan.

"Sekarang abang mau tanya."

"Yah, ceritanya kapan dong?"
Caca memelas.

"Ini lagi proses ca. Ini kita udah lagi membahas masalah yang sama kok."
Aku menenagkan

"Abang mau tanya apa?"
Fokus caca beralih kepada fathan.

"Waktu itu abang ada nemu  obat di dapur. Caca tau nggak itu obat siapa? Soalnya setau abang vitamin caca nggak kayak gitu. Dan abang juga nggak pernah tuh mengonsumsi obat obat gitu."
Fathan bertanya dengan hati hati.

"Oh iya, caca lupa. Waktu itu dokter ada nyaranin minum vitamin. Ya, dokter itu nggak nyuruh sih cuma nyaranin. Trus caca tanya merek apa yang bagus. Dokter kasih itu. Caca lupa deh apa namanya."
Fathan menutup mulut, terkejut.
Aku sudah menduga kalau semua ini adalah ulahnya hanum.

"Dokter itu bilang 'saya nggak nyuruh kamu beli ini ya, saya cuma nyaranin aja.' Gitu dokter bilang.
Terus caca beli lah. Kan saran dokter pasti baik kan. Caca suruh pak supir yang turun."
Aku dan fathan saling tatap.
Aku sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan dan ternyata sama persis dengan ekspektasi yang selama ini mengganggu pikiranku.
Dan hanum berkata dia hanya menyarankan dan tidak menyuruh supaya lepas dari tuntutan tuntutan yang mungkin saja di layangkan kepadanya karena salah dalam memberikan resep.

"Ooh, gitu. Trus trus?"
Aku ingin caca meneruskan kalimatnya.

"Hmm, setelah itu caca nggak ingat apa apa lagi dah. Kan perut caca sakit banget."
Aku dan fathan mengangguk angguk.

Teman Menuju Syurga (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang