68| Menebus Kesalahan

326 25 0
                                    

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Bersamamu aku ingin bahagia bersama, bersamamu aku ingin mengarungi tantangan hidup bersama, bersamamu aku ingin menikmati hidup bersama, bersamamu aku ingin berlama lama dan bersamamu aku ingin menua bersama

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Aisyah pov.
Aku memandang langit sore yang mulai kemerahan, mengisyaratkan bahwa hari sudah berada di penghujungnya. Menyuruh siapa saja yang telah menghabiskan harinya dengan dunia untuk kembali ke habitat masing masing. Sama sepertiku, aku juga sudah berada di rumah dan sekarang dalam suasana yang berbeda.

Sebenarnya aku sudah merencanakan bahwa sore ini aku menikmati sunset dengan bang fathan, tapi nyatanya aku sendiri di sini.
Bang fathan memilih tetap di dalam kamar dan sibuk dengan ponselnya.
Aku hanya tak habis pikir kenapa bang fathan marah cuma gara gara aku gak nemenin dia makan karna nelfin umi.
Aku pikir bang fathan cuma bercanda, eh ternyata malah serius.

Aku berdiri di balkon. Memandang lepas jauh ke cakrawala duni yang terlihat memesona namun aku hanya berteman gundah. Aku meremas pegangan pagar balkon, menahan pedih yang aku rasakan.
Aku sudah bilang kan, aku orangnya terlalu perasa. Makanya aku seperti ini.
Padahal aku bisa saja tak memikirkan masalah bang fathan yang ujung ujungnya pasti akan baik lagi kalau aku memang tipe manusia yang tidak peduli.
Tapi aku berbeda.

Kan, air mataku mengalir lagi.
Aku menghapusnya kasar, aku tidak boleh menangis lagi.

"Umi, caca kangen."
Ya, aku merindukan umi sekarang. Aku melihat matahari yang hanya tinggal sedikit. Matahari memang kuat, sanggup hadir lagi walaupun pernah redup. Bisakah aku sekuatnya?

Fathan pov.
Sekitar lima belas menit aku disini, aku jadi merasa bersalah pada caca. Memang aku hanya bermaksud tidak serius, tapi jika caca menganggap semuanya serius bagaimana?
Ah, serba salah aku jadinya.

Akhirnya aku memutuskan untuk ke balkon menyusul caca.
Kulihat dia sedang membelakangi pintu dan mencengkram pegangan pagar balkon kuat kuat.

"Sedang apa dia?"
Aku ikut melihat kearah caca melihat. Ternyata sunsetnya sudah sempurna. Indag sekali.
Perpaduan jingga dan kemerahan di hiasi oleh burung burung yang pulang.

Aku melihat bahu caca naik turu.
Sumpah, aku panik.
Jangan jangan dia menangis karena ulahku.

Aku tak langsung menampilkan wajah panikku. Aku mengatur raut muka karena akan memalukan saat mengerjainya namun setelah itu aku yang panik. Kan gak lucu banget. Meskipun sebenarnya iya sih.

Aku melangkah pelan dan mendekatinya. Dia tak sadar dan memang itulah mauku.
Aku memeluknya dari belakang. Dia terkejut.
Aku merasakannya.

Satu hal yang aku tak tega melihatnya di dunua ini adalah ketika melihat caca menangis.
Dan itu sejak dulu hingga sekarang aku masih saja begitu. Aku tau caca akan langsung diam saat aku peluk, makanya aku langsung memeluknya.

"Kok nangis?"
Aku bertanya dan menghapus air matanya.

Caca menggeleng.

"Marah ya sama abang?"
Aku bertanya lagi.

"Harusnya caca yang nanya sama abang. Abang marah ya sama caca?"
Caca bertanya dengan sesegukkan.

Aku meletakkan daguku di bahu caca.
"Abang nggak marah kok sayang. Mana pernah abang marah sama caca."
Akhirnya aku tak lagi berniat untuk mengerjainya. Aku kalah deh.

"Tadi abang nggak mau liat caca, abang nggak mau nemenin caca. Kalau penyebabnya adalah caca nggak nemenin abang makan, besok besok caca janji deh akan stay di samping abang kalau abang makan. Tapi jangan marah sama caca. Caca nggak punya temen jadinya."
Kali ini dia berbalik.
Menatapku dengan tatapan penyesalan.
Ah, aku gak akan jahil lagi deh.

"Nggak nggak sayang, abang nggak marah kok. Udah ah jangan nangis."
Aku memeluknya erat . Mengusap punggungnya yang menangis karena ulahku.

"Maafin abang ya sayang. Sebenarnya abang mau ngerjain adek tadi tuh. Tapi abang nggaj tega buat ngelanjutinnya karena adek udah nangis."
Aku mengaku seperti maling yang ditangkap polisi.

"Becandaan abang nggak lucu tau. Caca nggak suka."
Aku tertawa kecil

"Gak bakat berarti abang jadi pelawak?"
Aku mencairkan suasana.

"Gak banget."
Aku tertawa lagi.

"Udah ya nangisnya. Tuh tengok sunsetnya lagi bagus."
Caca meleoaskan pelukannya dan beralih menatap sunset.

"Wah, iya bagus."
Mata caca kembali berbinar saat melihat sunset.
Aku bisa bernafas lega, ternyata menghibur caca nggak susah.

"Adek, jangan sering sering nangis. Abang nggak bisa liat adek nangis."
Aku menatap lurus ke arah matahari yang hampir hilang.

"Iya bang, caca lagi berusaha buat nggak seting nangis kok. Doakan caca ya abang."
Aku hanya mengangguk.

Dulu,
Ketika aku dan caca masih kecil, aku membelukan ice cream untukku dan juga untuk caca. Lalu, karna saking senangnya caca melompà lompat sehingga ice creamnya jatuh.
Tangisan caca adalah hal yang paling aku benci.
Aku lebìh memeilih untuk memberikan ice creamku asalkan caca tidak menangis.
Aku ingat binar mata caca saat itu.
Dan semuanya sudah berlalu,
Tapi caca tetaplah gadis kecil bagiku, tangisannya masihlah hal yang paling tidak aku suka.
Dan pelukanku akan selalu ada untuk menenangkannya.

"Abang, caca laper."
Seketika aku menoleh ke arahnya. Belum sampai satu jam yang lalu aku dan caca makan dan sekarang dia laper lagi?v

"Kamu? Laper?"
Aku mengulangi perkatannya.

"He em."
Caca mengangguk.
Aku menelan saliva. Baik, sudah janjiku juga memenuhi apa saja yang dia minta setelah aku keluar dari rumah sakit.

"Kita makan di luar aja ya sayang. Tapi kita shalat maghrib dulu, boleh?"
Aku berinisiatif menunggu maghrib karena waktubya akan masuk sekitar 15 menit lagi.
Lagipun tidak baik berkeliaran saat waktu sudah menunjukkan jam jam segini.

"Iya bang gak apa apa. Masuk yuk, mataharinya udah gak keliatan."
Caca benar. Hari sudah gelap.
Cahaya sunset sudah di gantikan dengan cahaya lampu lampu bangunan dan lampu jalanan.
Aku menyetuhui usulan caca.

Aku dan caca beranjak ķe dalam dan bersiap siap untuk melaksanakan shalat maghrib.

"Jika malam mulai datang, atau datang waktu sore kepada kalian, maka tahanlah anak-anak kalian, karena setan berkeliaran pada saat itu. Jika sesaat waktu malam sudah berlalu, maka biarkanlah. Tutuplah pintu-pintu dan sebutlah nama Allah, karena setan tidak dapat membuka pintu yang tertutup.”
(HR Bukhari)

Dalam riwayat Muslim pun dijelaskan dalam hadis,
“Jangan kalian melepaskan hewan-hewan ternak kalian dan anak-anak kalian jika matahari telah terbenam sampai hilang kegelapan isya. Karena setan-setan berkeliaran jika matahari telah tenggelam sampai hilang waktu isya.”

Dan malamnya adalah waktu yang paling baik bagiku dan juga caca.
Dia menghabiskan banyak makanan.
Aku senang karena asupan makanan caca kembali terperhatikan yanģ beberapa waktu lalu sempat terbengkalai.

"Semoga aku dan kami selalu diberika kesehatan oleh yang maha kuasa."

_________________________________________

Hai readers. Kali ini author pengen yang slow slow dulu ya.
Nanti pada beberapa part selanjutnya, akan ada seseorang yang hadir dalam kehidupan mereka.
Jadi ikutin terus🤗

Teman Menuju Syurga (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang