Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tuk tuk tuk
Pertemuan sol sepatu dengan lantai keramik terdengar telinga. Langkah pasti untuk sekadar konfirmasi akan masa depannya. Lantas di depan ruang pribadi sang ayah, si pemuda Kim berhenti sejemang. Ia menghela napas dalam sebelum membuka pintu kayu itu.
Begitu masuk, ia mendapati pria tua penuh wibawa itu duduk di bangkunya, menuliskan jejak asmanya pada salah satu berkas yang pada dasarnya masih tersisa satu tumpukan lagi.
"Kenapa diam saja? Masuklah," ucap sang ayah tanpa memandang siapa yang datang.
"Ah, nde," dan Kim Taehyung pun menuju hadapan ayahnya.
"Ayah harus menyelesaikan ini dulu. Duduklah jika kau tidak buru-buru."
"Iya. Maaf Taehyung mengganggu ayah," ia pun duduk bersama segala hal yang berputar di pikirannya.
Pada detak menit kesekian, sang ayah selesai dengan urusannya. Ia menelepon seorang sekretaris untuk mengambil berkas-berkas itu.
"Lalu ada perlu apa kau kemari?" tanya ayah Taehyung.
"Mau menolak pertunangan?"
Mendengar hal itu Taehyung seketika menoleh. "Bukan begitu," pria itu pun menjeda untuk merangkai kata-kata.
"Bisa ayah jelaskan kenapa aku harus segera menikah? Bukan, maksudku bertunangan. Jika alasannya karena umur, kupikira aku belum terlalu tua. Masih banyak waktu untukku berumah tangga," ucap Kim Taehyung.
Bibir sang ayah masih terkatub, mungkin jadi sedang memilah kalimat untuk dijelaskan pada putranya. Lalu pada turbulensi berikutnya, sebuah ulasan senyum tipis terlihat di sana. Pria itu juga menepuk punggung Taehyung pelan.
"Taehyung-ah, ayah sudah menemukan siapa yang akan meneruskan perusahaan ini.
Kamu.
Karena kamu satu-satunya putraku. Lalu setelahnya kau yang harus menentukan penerusmu. Dan sesuai pesan kakekmu, sebisa mungkin perusahaan ini harus diteruskan oleh darah daging kita sendiri."
"Satu lagi, ini yang sangat penting bagiku.
Ayah dan ibu harus melihat seorang cucu sebelum dunia tidak mengizinkannya selamanya."
