Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Hana, dul, set!"
Pelemparan topi segilima. Sebuah ritual lazim dihari perayaan kelulusan. Tersemat sudah gelar sarjana pada mereka yang berbalut toga biru tua. Seoul National University tajuknya.
"Ya, kau puas hanya dengan melihatnya? Lempar topimu!" seorang pemuda keluar dari kumpulan yang bersorai ria.
"Wae? Aku suka memakainya," sahutan dari gadis yang merangkul berbagai bingkisan kecil beserta buket bunga.
"Terserah kau saja, nyonya Choi."
"Jisu-ya!"
Teriakan lain--ditujukan pada Choi Jisu. Kala menoleh, beberapa pemuda melangkah mendekat. Teman lama, lima tahun lalu mulainya. Dan kini senantiasa berkomunikasi meski telah ribut dengan urusan sendiri.
Berkata terima kasih, lantas ucapan selamat bersahutan dari enam teman yang lain. Tentu kepada Jisu.
"Ryujin-ssi, kau melupakan pacarmu?" lelaki bertoga sama dengan Jisu merajuk sebab terabaikan sejak lalu.
"Omo! Beomgyu-ssi, chukhae!" Ryujin pun mendekat sebelum tenggelam dalam dekapan sang kekasih.
Keduanya larut dalam semestanya sendiri, sedang yang lain memandang dengan senyuman. Memang begitu balutan atmosfer yang ada. Manis dan berkeling serupa permata.
"Jadi, dia tidak kemari?" pria bersurai biru mengaju tanya pada Jisu.
"Iya, sibuk dengan pekerjaannya," ungkapnya.
"Ya, apa pacarmu maniak kerja?" Yeji--gadis bermanik monolid itu menyahut.
"Wah. . .Yeji-ssi, kata-katamu--"
"Yeonjun-ssi, jangan pedulikan aku."
Satu lagi pasangan di antara mereka. Meski seolah enggan mengakui sebagai kekasih, namun siapapun tahu akan keserasian dalam dua insan itu.
Kala mereka sibuk bercakap tentang banyak hal, tiba-tiba suasana riuh kian bergemuruh. Teriakan para gadis mendominasi. Menarik atensi Jisu dan kawan-kawannya.
Entah dengan dalih apa sekian manusia spontan menepi, menyisakan satu lintasan di tengahnya.
Arkian, satu poin terlihat di sana. Di tengah bidang itu, seseorang berjalan. Wajahnya terhalang buket bunga ekstra besar. Sedang di tangannya terdapat buntalan boneka beruang. Beberapa balon helium yang mengudara juga terapit di sela jemari lentik itu.
Presensinya bersinar. Begitu hangat mengalahkan matahari diakhir musim dingin.
Ia terus melangkah. Tapak suku telah hafal kapan dan di mana pemberhentiannya. Tak acuh, seakan ia menembus tiap lantunan harap yang dilempar para taruni--tentang menjadi penerima dari segala benda beserta si pria. Namun sayang, sang pemilik telah menetapkan satu pemenang hatinya.