Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Katakan angin apa yang membuka kartu sial manusia satu itu. Tega sekali. Kenapa juga hal barunya harus diganggu oleh orang itu——lagi.
Pada detak kesekian jarum jam, seringai itu masih nampak di hadapan Jisu. Ditambah tersiratnya tatapan yang jelas merendahkan.
Turbulensi berikutnya, kepala Yena mendekat pada telinga Jisu.
"Apa dia tidak menafkahimu? Su-a-mi-mu."
"Tunggu, ayahmu yang memakannya ya?" imbuh Yena.
Artian lain.
Jisu tahu dia hanya akan memancing tantrum pada hatinya. Abai adalah andalan Jisu.
"Silakan memesan."
Jisu berkata selayaknya pada tamu biasa. Sembari mengulas senyum dan nada ramahnya.
Tercekat sejemang mendapati diorama itu di mata Yena. Ah, antipati bejebah jadinya.
"Hh, kau akan berpura-pura, ya? Baiklah. Berikan aku minuman terbaik kalian," ujarnya.
Jisu pun bergerak guna meracikkan segelas pesanan. Memang harus begitu bukan——sistem yang perlaku.
Tanpa aba, di tempat itu juga, si peminta menegaknya lewat sebuah pipa kecil yang tersedia. Respon yang tidak buruk untuk satu menu itu. Namun, setelahnya siapa yang tahu.
"Terimalah. Kau sangat menyedihkan."
Lima kali lipat dari nilai si minuman. Yena membayar beriring ucapan demikian. Benar-benar lidahnya begitu tajam.
Jisu masih terpaku dengan apa yang ditangkap pandangnya. Sedang Yena telah melangkah menuju pintu keluar.
Harusnya memang tak boleh tinggal diam. Jisu segera mengambil lembaran won itu dan mengikuti arah Yena pergi.
"Ya!"
Satu kata penghambat langkah Yena. Gadis itu menoleh pada sumber suara. Di hadapannya Jisu berdiri lantas kembali menyerahkan uang Yena.
"Sejujurnya kaulah yang terlihat menyedihkan di mataku. Merendahkanku dengan perbuatan rendahanmu."
Begitulah ungkap Jisu. Benar, katakan saja apa yang ingin dikatakan. Dengan begitu satu noktah beban hati akan menguap.
Tidak menjamin, tapi sangat disarankan untuk dicoba.
