Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sepuluh lewat sepuluh.
Maaf kepada lampu taman penerang gelap malam. Pijarnya harus terus benderang. Juga maaf kepada gravel yang menjadi sasaran bagi ayunan kaki beselop hitam.
Terlalu bosan Yena menanti prianya di tempat.
Kepada peri Dryad, gugurkan satu daun oak. Sebagai teman gadis itu, sebagai pereda tantrum pada hati itu.
"Ini untukmu."
Putaran detik berikutnya, malah benda lain yang terulur di hadapan Yena.
Park Jimin telah di hadapannya.
"Apa?" tanya Yena sebelum menerima.
Tanpa sahutan, Jimin kembali mendekatkan paper bag itu. Arkian, sang gadis menerima. Dibuka, beberapa cokelat di dalamnya. Ah, kesukaan Yena.
"Kena marah?" ucap Jimin sembari menjatuhkan diri di salah satu bangku.
"Jangan tanya," sahut Yena.
"Tentu saja, aku sangat mengerti ayahmu."
"Lalu kau akan memprovokasinya?"
"Ah, terdengar bagus!"
Pria itu berjengit bangkit dari duduknya. Tak peduli dua manik tajam yang terus menyalang garang tertuju padanya.
"Ck!"
Yena beranjak. Mengambil langkah dengan niat meninggalkan Park Jimin sialan itu.
"Yena-ya!"
"Apa lagi?!"
"Jangan lupakan ini, aku sudah membelinya."
Benar-benar manusia menyebalkan, bukan? Dalam situasi semacam ini malah menguraikan gelagat aus atau mungkin kelakar semata—? Jelasnya dapat mengundang sumpah serapah pada batin Yena.
Jimin berjalan mendekat. Kedua kalinya mengulurkan bingkisan yang sama. Begitu beralih tangan, telapaknya berganti objek guna penyaluran kehangatan.
Yena terjebak dalam dekapan Jimin.
Berontak? Tentu saja. Bukan Yena namanya jika menerima begitu saja.
Namun, Dryad kecil ternyata masih di sana. Lirih berbisik menitah Jimin bermanuver sedikit. Tangannya diletakkan pada puncak hulu si gadis.
"Kau punya banyak pilihan. Menghadapi masalahmu secara dewasa atau mengabaikannya dan bersikap sebebas-bebasnya."
