59🌷

367 75 2
                                    

Jika saja ada sebuah mantra untuk mendelesi manusia, Yena dengan senang hati akan mengucapkannya di depan Park Jimin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jika saja ada sebuah mantra untuk mendelesi manusia, Yena dengan senang hati akan mengucapkannya di depan Park Jimin.

Berada dalam dunia pria itu hanya akan membangkitkan tantrum dalam diri Yena. Seperti sekarang, kala dirinya ingin segera pulang usai bergulat dengan segala materi pelajaran, mobil Jimin malah berhenti di depan jajaran toko dengan berbagai barang dagang.

"Kenapa berhenti?" tanya Yena.

Pria yang kini melepas seatbelt pun menjawab. "Ayo makan, aku sangat lapar."

"Tidak mau!" sang gadis malah melipat kedua tangan di tempat.

"Cepatlah,"

"Ck, tidak mau!"

Keras kepala. Begitulah Jimin mengenal seorang Jeong Yena. Kini ia tatap gadis yang masih menghadap lurus ke depan itu.

Benar-benar.

Harus dengan cara apa Jimin menghadapi anak kecil itu. Lantas ia ambil sebuah topi dan jaket dari kursi belakang mobilnya.

"Ini, pakailah. Aku tahu kau adalah orang yang tak pernah jujur," begitu ucap Jimin.

Ketidaksesuaian keinginginan berakhir dengan kemenangan yang jatuh pada Park Jimin. Kepala batunya melunak oleh percikan simpati yang menghampiri.

Keduanya telah singgah di salah satu kafe. Duduk berhadapan dengan raut Yena yang masih saja masam.

"Yena-ya, kau masih mengganggunya?" tiba-tiba berkata demikian. Terkadang Jimin memang tak pandai menghaluskan kata di depan gadis kasar itu.

"Siapa?" balas sang gadis dengan ketusnya.

Tak perlu diperjelas, Jimin yakin Yena tahu arah ucapannya. Dan terbukti dengan wajah Yena yang menyiratkan hal tersebut.

"Kubilang semuanya hanya permainan," ujar Yena.

"Lalu kenapa kau bermain-main? Kau sudah kelas tiga."

Tidak, Jimin tidak marah. Memang begitu cara dia bertanya.

"Hanya karena itu aku tidak boleh bermain?"

Kenaikan satu oktaf pada nada bicara Yena membuat Jimin menghela napas dalam-dalam.

"Haruskah kuadukan pada tunangannya? Aku benar-benar akrab dengannya," ucapnya kemudian.

"Ya! Kau tahu aku benar-benar ingin merobek mulutmu."

Kalimat Yena terlontar begitu saja. Tanpa peduli seorang pelayan yang terkejut ketika meletakkan makanan di depannya. Sedang Jimin malah menanggapinya sebagai gurauan.

"Wah, aku sangat takut."

Dan decakan kasar dari si gadis menjadi balasan untuk kalimat Jimin.

Bersama manuver sekelompok kapas kelabu, aktivitas makan malam keduanya tak berlangsung lama. Selesai dengan perdebatan kecil, juga penyatapan hidangan dalam keheningan kini mereka meninggalkan tempat.

Tak perlu disangkal, Yena tentu lebih dulu keluar, enggan menunggu prianya yang harus berurusan di kasir.

Rotasi menit berikutnya, Jimin memasuki kendaraan hitamnya. Sedang si gadis telah duduk di kursi sebelah. Masih dengan satu arah pandang yang sama, tanpa sepatah kata, pun juga niat pembicaraan.

"Jangan khawatir, aku tidak akan mengadu,

asal kau berhenti menngagunya.

Dan bertemanlah, meski itu sulit."

━━━━━━━━━━━━━━━━━2Ocm━ ˎˊ˗

2Ocm √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang